Kamis, 15 Desember 2011

Unfinished

Dia masih sangat belia. Saat pengikut Mao menginjak-injak patung Bunda Maria, kemudian digantinya palu-arit, Dalai Lama sudah feeling kalau-kalau bernasib sama dengan patung itu. Pergilah ia sebagai pertapa seperti Gautama. Bedanya, ia menjadi pertapa politik, masuk TV berkali-kali. Setelahnya, banyak Bhiksu menerobos pagar wihara. Sekedar menyelesaikan persoalan yang tidak bisa selesai hanya dengan meditasi.

The Unfinished Budha yang duduk di Borobudur selalu pandai menyimpan misteri. Keriting yang menjadi ikon tidak terlihat. Lengannya panjang sebelah. Alas tempat duduknya miring. Luka di dahi serta hidungnya mencoreng paras keteguhan. Apa memang Syailendra sengaja menutup aib kekalahan dari Sanjaya? Kita sama-sama hilang informasi.

Apa hubunganya dengan Dalai Lama? Tidak ada. Ia hanya seorang Budhis seperti Roberto Baggio ataupun Arthur Schopenhauer. Mereka jatuh cinta pada sebuah kisah. Saat seorang Brahmadatta loncat dari pagar meninggalkan mahkotanya. Lari dari suatu kesunyian menuju kesepian yang baru. Itu sebuah usaha melawan keajegan, sekaligus mencari kebenaran dan keadilan sesungguhnya. Sebuah usaha yang juga dilakukan para religius lain, seperti Santa Jeanne d'Arc yang termasyhur itu atau Kardinal Jaime Sin yang menendang keluar Marcos ke Hawaii.

Entah apa yang ingin digapai. Yang pasti, ketika baru saja pagar terlewati, seorang nenek bungkuk mengemis kelaparan di depannya. Matanya kemudian menoleh ke kanan. Bayi-bayi sedang mengantri pasokan ASI. Keningnya lalu menunduk, semut-semut terinjak-injak zaman. Kemudian wajahnya dihadapkan pada langit: Haruskah kesengsaraan menyertai semua makhluk? Langit menjawab: Harus.

Sang pangeran memutuskan pergi. Menyusuri gua-gua yang tak lazim, menjalin pertemanan dengan belukar yang baik hati. Kadang minta dihibur oleh tetes air di ujung daun pohon Bodhi. Ia selalu bertanya pada malam. Mengkritisi aristokrasi, melabrak kerakusan manusia. Berapa putaran waktu, ia tak peduli. Samsara (kesengsaraan) sudah menjadi bagian dari jalan berpikirnya. Ia pun menikmati perannya. 

Untuk mencapai Arupadhattu, seorang berulangkali meniti tingkatan. Mulai dari Arhat, merengkuhnya butuh ketahanan. Titik puncaknya tidak terlihat. Kita seperti ditipu angan. Mencari keabadian dengan meraih Bodhisattva Agung, rasa-rasanya hampir tidak memungkinkan. Kami manusia biasa.

Patung Bodhissattva Avalokitisvara berkilau tapi tetap terlihat sederhana. Ia tak setinggi Budha yang terlalu sulit direngkuh. Kanon, sebutan lainnya, mampu merangkul atau mungkin juga mendengar kekecewaan yang malu-malu diungkapkan. Sebagai contoh, menasehati Baggio saat gagal menaklukan Taffarel di Piala Dunia 1994. "Sabar Nak Gio...,".

Banyak pengamat bilang, Budha tak memberi struktur teologis yang memadai. Namun, keberpihakannya terhadap nilai moral justru membangun universalisme ajaran Gautama. Ajarannya yang pesismistik selalu diperbandingkan dengan uzlahnya Gahazali dan para sufi dalam Islam. Mereka adalah kumpulan para tabib ahli penyembuhan penyakit "Cinta Dunia". Inikah jalan keluar dari tesis Erich Fromm tentang masyarakat yang serba cukup secara lahiriah namun miskin secara ruhani? Sepertinya begitu.

Ada yang menarik saat Gautama bertemu Angulimala. Ia seorang pembunuh kelas kakap yang telah mengoleksi 1000 potong ibu jari. Proyek terakhirnya adalah membunuh ibu kandungnya sendiri. Saat niat itu diaplikasikan, ia bertemu Gautama. Gautama yang ingin memberi nasihat malah diserangnya. Menghindari perkelahian, Gautama pergi menghilang.

"Tittha Samana! (Berhentilah bertapa)" Angulimala berteriak pada Gautama.
"Saya sudah berhenti, kau yang masih belum berhenti dari nafsumu!" balas Gautama.

Semenjak itu Angulimala sadar. Ia kemudian meniti empat kebenaran mulia Budha. Manusia pada dasarnya dibalut kesengsaraan. Setiap orang akan selalu terus dibalut kegelisahan, kekecewaan, dan kebuntuan jalan. Penyakit ini akan terhenti apabila kita menahan nafsu/keinginan. Itulah tantangan bagi manusia modern. Godaannya besar, apalagi alat pemuasan keinginan makin terbuka dan mudah didapat. 

Pertanyaannya, apakah nirwana menjadi garis finish? Kami membayangkan, bagaimana nanti kita bertetangga? Wong saat ini untuk perkara seribu-dua ribu perak, kita bisa jual-beli celurit. Bagaimana dengan sungai nirwana yang mengalir amat jernih. Apakah ia juga bisa mampat kalau kita buang kulit duren di sungai itu? Mungkin, Nirwana hanya sebuah simbol. Bukan ilusi istana, bidadari, dan makanan yang datang sendiri ketika dipesan.

Lagi-lagi tidak selesai. Pertanyaan itu menggantung di kaki langit. Sepertinya tidak perlu kita memperbanyak tanda tanya. Rahasia ini membuktikan kelemahan total manusia. Skenario memang sengaja dibuat tanpa dibubuhi kata "The End". Seandainya orang-orang yang dikremasi itu bisa bersaksi di hadapan kami yang hidup, niscaya kami tahu, apakah semuanya sudah selesai?

Mereka menjawab: "Kami juga tidak tahu!"
Dalai Lama menimpali: ”Iya. Saya pensiun karena masalah ini tidak akan selesai,”.

BRS
"Kita hidup di bawah kehendak yang tak terlihat," Arthur Schopenhauer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar