Akhirnya, saya baru tahu makna "Isuk Dele, Sore Tempe" yang (sok) dimisteriuskan oleh kawan saya. Saya tahu penjelasan itu dari "pengajiannya" Emha Ainun Najib. Waktu itu dia bercerita tentang Gus Dur.
Mengenai Gus Dur, kebetulan beberapa waktu lalu saya baca buku berjudul "Ijtihad Politik" dari Dr Munawar Ahmad. Dalam buku itu dibeberkan bagaimana tidak konsistennya Gus Dur dalam pembawannya sebagai publik figur. Buku itu seakan menjawab rasa penasaran saya. Terutama penggalan sejarah yang terpotong, sebab saya besar tidak di masanya Gus Dur jaya.
(Yang paling saya ingat tentang Gusdur adalah ketika SU MPR 1999 yang dramatis itu berhasil mendudukan Gus Dur sebagai presiden pertama era reformasi. Waktu itu, seketika, saya disuruh Ibu saya untuk sujud syukur, ketika Gusdur resmi menang voting lawan Megawati. "Allaaahhhu Akbbaaarrr!" teriak Ibu saya)
Saya memang setuju sikap moderat (yang cenderung liberal dan sekuler) terhadap peri kehidupan berbangsa. Saya setuju keterbukaannya terhadap keragaman. Saya setuju pendekatan damainya dalam menyelesaikan konflik. Di balik itu semua, semua orang pasti setuju, bahwa Gusdur adalah seorang demokrat fanatik.
Tapi, inkonsistensi sekaligus megalomania-nya juga ternyata tidak lepas dari jiwanya.
Katanya beliau seorang yang demokratis, mengapa beliau bergegas mengeluarkan dekrit? Mengapa beliau tidak betah dikritik? Kalau beliau membela minoritas, mengapa mengorbankan mayoritas? Kalau beliau cinta damai, mengapa mengobarkan permusuhan dengan musuh politiknya di masa beliau jadi orang nomor satu? Bukankah akhirnya Gus Dur tidak lebih beda ketimbang Pak Harto?
Tapi, saya di sini berusaha bijaksana. Bahwa, Gusdur tidaklah sepenuhnya salah. Bahwa beliau memang pada saat itu dihadapkan pada kondisi dimana semua orang akan mengambil jalur yang sama ketika berada pada posisi yang sama pula dengan beliau.
Nah, Cak Nun mengibaratkan inkonsistensi ini dalam kalimat "isuk dele, sore tempe". Kata Cak Nun,"Gus Dur itu kalau sudah di masa damai dia ngajak bertengkar. Begitu orang mengurusi pertengkaran, dia damai".
Nah, kalimat itu, yang dilabelkan kawan saya karena sikap mbalelo saya terhadap suatu kondisi.
Saya menyadari sebagai anggota Aliansi Plegmatis Damai Seluruh Indonesia, saya mesti memiliki kecenderungan plin-planisme yang sudah tertanam sedari saya lahir. Makannya, saya seringkali memilih jalur yang paling damai, memilih jalur yang paling aman, berkulit kadal, bermuka topeng, dalam menghadapi kondisi yang mencederai persatuan, persaudaraan, dan persahabatan. Itu yang dikatakan orang sebagai salah satu sifat pengecut. Tak berprinsip.
Tidak selalu benar memang. Setidaknya ia mewakili pandangan orang luar terhadap saya. Tapi saya meyakini bahwa sikap saya yang selalu menghindari konflik adalah sebuah sikap yang bijak. Tentu saja, konflik itu bukan hanya terjadi dalam hubungan antar manusia. Juga termasuk konflik serta pergulatan yang ada di dalam batin saya. Saya tidak mau mengibuli nurani saya. Maka, ketika saya memilih putusan yang kontroversial bagi banyak orang, itu tidak lain adalah perwujudan komitmen saya terhadap perdamaian. Perdamaian dengan jiwa saya, dengan makhluk lain, dan yang paling penting dengan Tuhan saya.
Namun, saya juga mengakui. Bahwa akhir-akhir ini saya bukan hanya menjadi plegmatis tulen bahkan mulai sedikit-sedikit belajar menjadi pragmatis.
Saat ini, aku jadi rindu. Dengan berupa-rupa idealisme yang menggebu-gebu, yang dulu pernah aku kasihi dengan mesra. Aku mengenang masa-masa dulu, saat aku bisa dengan bersemengat menggapai utopia-utopia. Tapi semua hilang sekejap. Jika rasa gebu itu lahir karena kondisi, maka rasa pragmatis saya ini juga lahir dari kondisi. Sama-sama kondisi, tapi berbanding terbalik nilai-nilainya.
Mengenai Gus Dur, kebetulan beberapa waktu lalu saya baca buku berjudul "Ijtihad Politik" dari Dr Munawar Ahmad. Dalam buku itu dibeberkan bagaimana tidak konsistennya Gus Dur dalam pembawannya sebagai publik figur. Buku itu seakan menjawab rasa penasaran saya. Terutama penggalan sejarah yang terpotong, sebab saya besar tidak di masanya Gus Dur jaya.
(Yang paling saya ingat tentang Gusdur adalah ketika SU MPR 1999 yang dramatis itu berhasil mendudukan Gus Dur sebagai presiden pertama era reformasi. Waktu itu, seketika, saya disuruh Ibu saya untuk sujud syukur, ketika Gusdur resmi menang voting lawan Megawati. "Allaaahhhu Akbbaaarrr!" teriak Ibu saya)
Saya memang setuju sikap moderat (yang cenderung liberal dan sekuler) terhadap peri kehidupan berbangsa. Saya setuju keterbukaannya terhadap keragaman. Saya setuju pendekatan damainya dalam menyelesaikan konflik. Di balik itu semua, semua orang pasti setuju, bahwa Gusdur adalah seorang demokrat fanatik.
Tapi, inkonsistensi sekaligus megalomania-nya juga ternyata tidak lepas dari jiwanya.
Katanya beliau seorang yang demokratis, mengapa beliau bergegas mengeluarkan dekrit? Mengapa beliau tidak betah dikritik? Kalau beliau membela minoritas, mengapa mengorbankan mayoritas? Kalau beliau cinta damai, mengapa mengobarkan permusuhan dengan musuh politiknya di masa beliau jadi orang nomor satu? Bukankah akhirnya Gus Dur tidak lebih beda ketimbang Pak Harto?
Tapi, saya di sini berusaha bijaksana. Bahwa, Gusdur tidaklah sepenuhnya salah. Bahwa beliau memang pada saat itu dihadapkan pada kondisi dimana semua orang akan mengambil jalur yang sama ketika berada pada posisi yang sama pula dengan beliau.
Nah, Cak Nun mengibaratkan inkonsistensi ini dalam kalimat "isuk dele, sore tempe". Kata Cak Nun,"Gus Dur itu kalau sudah di masa damai dia ngajak bertengkar. Begitu orang mengurusi pertengkaran, dia damai".
Nah, kalimat itu, yang dilabelkan kawan saya karena sikap mbalelo saya terhadap suatu kondisi.
Saya menyadari sebagai anggota Aliansi Plegmatis Damai Seluruh Indonesia, saya mesti memiliki kecenderungan plin-planisme yang sudah tertanam sedari saya lahir. Makannya, saya seringkali memilih jalur yang paling damai, memilih jalur yang paling aman, berkulit kadal, bermuka topeng, dalam menghadapi kondisi yang mencederai persatuan, persaudaraan, dan persahabatan. Itu yang dikatakan orang sebagai salah satu sifat pengecut. Tak berprinsip.
Tidak selalu benar memang. Setidaknya ia mewakili pandangan orang luar terhadap saya. Tapi saya meyakini bahwa sikap saya yang selalu menghindari konflik adalah sebuah sikap yang bijak. Tentu saja, konflik itu bukan hanya terjadi dalam hubungan antar manusia. Juga termasuk konflik serta pergulatan yang ada di dalam batin saya. Saya tidak mau mengibuli nurani saya. Maka, ketika saya memilih putusan yang kontroversial bagi banyak orang, itu tidak lain adalah perwujudan komitmen saya terhadap perdamaian. Perdamaian dengan jiwa saya, dengan makhluk lain, dan yang paling penting dengan Tuhan saya.
Namun, saya juga mengakui. Bahwa akhir-akhir ini saya bukan hanya menjadi plegmatis tulen bahkan mulai sedikit-sedikit belajar menjadi pragmatis.
Saat ini, aku jadi rindu. Dengan berupa-rupa idealisme yang menggebu-gebu, yang dulu pernah aku kasihi dengan mesra. Aku mengenang masa-masa dulu, saat aku bisa dengan bersemengat menggapai utopia-utopia. Tapi semua hilang sekejap. Jika rasa gebu itu lahir karena kondisi, maka rasa pragmatis saya ini juga lahir dari kondisi. Sama-sama kondisi, tapi berbanding terbalik nilai-nilainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar