Kamis, 15 Desember 2011

Kursi Panjang Kenangan

Dua bulan yang lalu, kita duduk bersama di kebun ini. Kursi panjang yang meskipun reot, tapi sangat antik itu, jadi saksi. Tatkala dua tangan kita bergenggaman satu sama lain. Kehangatan itu seharusnya tidak cepat menguap. Aku tidak memaksakan diri, ketika kau sendiri yang memulai. Pemutusan hubungan yang pilu itu.

Hari ini, aku duduk di pusara kelahiranku. Menafakuri dengan mengira-ngira, apa yang sedang kau lakukan di sana. Yang pasti, sejak kata perpisahan itu kau sebutkan dengan malu-malu, aku jadi tak bisa tidur. Kau tahu rasanya ditinggal, sebab tujuh tahun lalu kau juga pernah merasakannya. Memang cinta tak akan pergi berbarengan dengan perginya jasad yang dicintai. Waktu itu, aku segera hadir sebagai pengganti. Aku benar-benar tulus. Sepenuh hati.

Tapi mengapa, mengapa kau pergi begitu lekas? Belum saja aku sempat mencium keningmu. Tapi, kau sontak berucap salam. Rasa-rasanya, kau memang tak mau beri aku kesempatan lagi. Apa memang, sudah tidak ada lagi tempat di keningmu? Lantas bagaimana aku bisa tunjukkan, apa yang ada dalam hatiku?

Kini, aku hanya bisa bilang. Biarkan yang sudah terjadi. Memang beginilah jalannya. Fajar di ufuk, yang kau jadikan momen perpisahan itu, terlalu mudah aku ingat. Memoriku langsung penuh dengan lukisan wajahmu. Meski senyuman itu seakan dibuat-buat. Sebab aku yakin, senyummu jauh lebih indah dari itu. Hanya, sepertinya, kau sedang menahan sesuatu. Apatah gerangan?

Adakah sakit yang kau tahan? Yang tak bisa kau bagi bersamaku? Mengapa kau hanya tersenyum ketika kutanya hal itu? Janganlah begitu. Dahulu aku selalu bilang. Tak baik kau menahan sakit. Bagikan saja rasa perih itu. Kepadaku. Atau kalau kau tak percaya padaku, bagikan pada sahabat terdekatmu. Minimal, walau tidak bisa dipikul bersama, perasaanmu yang pedih itu, sedikit-sedikit tergantikan.

Berbilanglah pada sebuah kata dalam hatimu, niscaya aku bisa merasa sama. Berbisiklah bersama angin yang melambai, niscaya aku tertidur juga. Sungguh, yang ada di hatimu, menggores pula di hatiku. Tiap-tiap isyarat syarafmu, terhubung selalu dalam otakku. Aku berjanji, tak akan diam, meski kau diam. Yang tercabik, tak selamanya mengalirkan darah. Biarlah aku menelisik, kemana perginya masalah? Mari selesaikan bersama. 

Mengapa hanya diam? Berbicaralah...

Adakah kau lupa, saat kebun itu senang, kita terbahak-bahak di dalamnya. Kita selalu terbuka. Bercerita tentang getirnya kehidupan. Kau sendiri yang bilang kepadaku. Skenario Tuhan memang indah. Sementara aku menanggapi dengan senyum, sebenarnya dalam hati aku menelan ludah. Bukankah penderitaan sudah terlalu akrab menyambangimu? Namun wajah ceria itu, membuyarkan segala anggapan miring. Kau terlalu tegar untuk dihantam secuil badai.

Adakah kau lupa, saat nyanyian burung camar itu, membuat kita bersedekap dalam kebahagiaan. Jari telunjukmu selalu menengadah, kemudian kau berkata,"Adakah yang lebih bergembira ketimbang burung-burung itu?". Seketika itu, kita meniru nyanyian mereka. Berdansa pada ujung-ujung kabel listrik, tanpa rasa takut ketinggian, kesetrum ataupun keserimpet. Lenggak-lenggoknya kita tiru semirip-miripnya. Saat burung itu pergi, mengepakkan sayapnya yang mungil, kita segera bertepuk. Punggung tanganmu dengan telapak tanganku.

Adakah kau lupa, saat bunga-bunga itu dihampiri lebah-lebah yang ramah. Kita menangisi pundak-pundak kita. Alangkah, betapa, sungguh...aku tak bisa lagi menggambarkan. Bunga yang merona indah. Lebah yang manis. Hati kita berucap,"Inikah yang kita lakukan saat ini? Di kebun ini?".

Kini, semuanya tinggal kenangan.
Baiklah, memang sudah saatnya kita tutup buku.

Di balik temaramnya bulan, di malam dimana kita seharusnya duduk menghadap bintang gemintang. Aku sendiri lagi. Semua segan menemani. Kau pergi berlawanan sisi. Aku hanya bisa menangisi. Hampa! Tak ada yang bisa menghibur lagi.

Kursi panjang itu, jauh dariku saat ini. Tapi, aku berjanji. Beberapa hari lagi, aku akan datang menduduki. Sekedar mengenang saat kita bergandengan tangan. Saat kita mengucap beberapa kata. Manis, haru, dan meninggalkan bekas. Saat itulah kita saling menyandar. Di bawah cuaca dingin pula, kita saling menghangatkan. Dalam mimpi yang kita rangkai jadi satu, walaupun ternyata harus pupus di tengah jalan, kita mengikat janji. Kebersamaan paripurna. Menyeluruh dan selamanya!

BRS 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar