Aku pernah tulis puisi untuk almarhumah nenek yang menjadi Ibu keduaku kurun lima tahun belakangan ini.
(Hilang)
Wahai kau yang biasa duduk di pekarangan
Menunggui ibu penjual pembawa sayuran
Setelah lantai rumah tanpa berserakan
Memandangi langit dari kejauhan
Ini bukan pelayanan
Lebih tepat kasih sayang
Kepada para penghuni rumah
Yang kadang juga membangkang
Ah, yang benar saja
Di sekitarmu
Mengapa tak ada yang pandai berterimakasih?
Padahal kau sendiri, inti kehidupan kami
Saat yang pergi
Tak pernah kembali
Barulah kami menangisi
Air mata yang terlambat dibeli
Sengaja kami jual lagi
Meski sudah setengah basi
Tuhan bertanya
Maukah kukembalikan lagi?
Semua yang sudah berpindah
Kami pasti bilang,"Mau!"
Sayang,
Tuhan seperti tak ambil peduli
Kau terlambat
Begitu kata-Nya
Sekarang,
Kami hanya bisa mencari
Sesuatu yang hilang pergi
Yang tak mampu kita beli lagi
Kehadirannya di sisi kami
(Siapa lagi?)
Siapa lagi,
Yang siap sedia menghadap Gusti
Pada tengah malam buta
Siapa lagi,
Yang gemericik wudhunya
Membangunkan mimpi penghuni rumah
Siapa lagi,
Yang melipat kelambu
Saat cuaca masih dingin menggigil
Siapa lagi,
Yang bisa meneteskan mata
Berlama-lama membungkuk hadap kiblat
Siapa lagi,
Yang selalu menyesal
Setengah mati
Bila bangun "kesiangan" sedikit
Siapa lagi,
Yang pantang tidur kembali
Selepas ibadah yang melelahkan itu
Siapa lagi,
Yang memohonkan ampun
Pada tiap turunannya
Pada tiap ahli kuburnya
Pada tiap sahabat-sahabatnya
Jikalau umur yang memaksamu begitu
Tentu perkara itu bisa jadi biasa
Tapi kau lakukan sejak muda
Bahkan malaikat pun dibuat malu
Adakah makhluk sebegitu tekunnya?
Meski Tuhan tidak berpihak
Pada kesehatannya
Bukankah kekasih Tuhan berhak?
Siapa lagi?
Hah!
Tidurmu kini
Tidak lagi dibaluri doa
Rumahmu sekarang
Berhenti dari lalu-lalang malaikat
Siapa lagi yang mau meneruskan?
Mari kita teruskan!
(Saksi)
Aku lihat
Saat kau tertidur bahagia
Ya,
Di kasur itu
Aku jadi saksi
Terpejamnya matamu
Ya,
Di kasur itu
Aku dengar
Hembusan lirih nafasmu
Ya,
Di kasur itu
Aku merasa persis
Detak pelan jantungmu
Ya,
Di nadimu itu
Aku was-was
Bekunya badanmu
Ya,
Di nadimu itu
Aku panik
Kakunya jemarimu
Ya,
Di nadimu itu
Aku setia
Menjagamu
Walau
Tidak persis di sampingmu
Aku saksi
Saat kau naik mobil
Penjemput
Pindah ke alam lain
Aku pula saksi
Pundakku menggendongmu
Bukan pada tubuhmu
Pada sebuah keranda
Aku menyiapkan
Baju terakhirmu
Putih bersih mewangi
Belum bernoda
Aku membantu
Menurunkanmu
Pada tempat yang nyaman
Juga abadi
Sambil mengusap air mataku
Tangisku pecah
Gundukan meninggi
Nisan terpatri
Kita berpisah
Kini
Habislah penderitaan itu
Keluh yang setengah hati
Tersebut juga
Rasa syukurmu terlalu dalam
Hingga sanggup mengobati
Walau tak sepenuhnya
Kau tetap berterimakasih Gusti
Maafkan aku,
Aku hanya bisa jadi saksi
Sampai pada taman itu
Selebihnya kau bertanggung jawab
Aku yakin,
Tuhan berpihak pada hamba-Nya
Yang siang-malam menangis
Ingat penciptanya
(Ibu)
Kau tak turut mengandung
Hanya menyumbang darah
Itupun tidak kental
Aku bukan tulen Jawa
Tapi selang waktu
Jadilah kau ibu baruku
Meski kita baru bertemu
Setelah sekian lama sekedar berlalu
Kasih sayangmu
Sama saja
Seperti Ibu kandungku
Terlalu istimewa buatku
Tak terasa waktu berlalu
Kita dipenuhi cerita masa lalu
Aku mendengarkan penuh haru
Aku benar-benar bangga padamu!
Kita ternyata cocok
Kita ternyata menyatu
Membuat orang tidak mengerti
Bagaimana cara kita komunikasi
Wahai, orang yang bertanya-tanya
Ketahuilah
Kami berbicara melalui hati
Yang jernih satu sama lain
Saling menyayangi
Bahasa paling sederhana
Saling memahami
Bahasa paling indah
Tapi,
Semenjak bunyi-bunyian
Sirna dari telinga
Aku mencari-cari
Tak mungkin
Aku berbicara
Pada televisi
Yang berbunyi, tapi bisu
Tak mungkin
Aku berbicara
Pada tembok
Yang tegap, tapi tak berekspresi
Tak mungkin
Aku berbicara
Pada sapu
Yang kugenggam, tapi miskin belas kasih
Aku kecewa
Lantaran tak berlawan bicara
Aku sedih
Hanya bisa mengajak bicara
Sebuah alat bantu dengar
Yang sudah pasti bisu
Sambil berharap
Ada yang mau mendengar
Meski dari jauh
(Maaf)
Buat apa kata maaf
Kalau tak disampaikan
Pada Sohibul maaf
Mubazir
Tapi bagaimana bisa
Bila sohibul maaf
Tak lagi ada
Tuhan,
Bisakah kau sampaikan
Satu kata ini
Hanya satu kata saja
Betapa mirisnya hati kami
Sampai kata ini tak tersampaikan
Meski semua itu terputus
Saat kita berpisah
Tentu Tuhan punya kebijaksanaan
Kepada ketulusan
Aku titipkan sebuah kata
Maaf!
(Renta)
Semua orang kembali renta
Tak peduli hartamu berapa
Itu sudah suratan
Tanpa bisa menanggalkan
Umur yang kau rayakan
Adalah pertanda bencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar