Gara-gara film seven pounds (kemudian dilanjutkan dengan iseng nonton El Clasico), saya kesiangan bangun. Ya Allah..sudah berapa kali saya sering kesiangan. Entah kenapa, akhir-akhir ini, saya kena amnesia. Eh, salah. Insomnia maksud saya. Gara-gara kesiangan itu, saya jadi telat pergi ke Bungurasih sama AA Yuda yang ngganteng dan baik hati itu. (Yud...mbayaro nang aku. Wes tak kasih image apik iki. Meski rodo mbujuk, hehe)
Tapi, sumpah, film itu keren banget. Saya emang suka banget sama Will Smith. Aktingnya keren (kayak saya, hehe). Terus udah gitu, alur ceritanya, meski membingungkan tapi cukup membuat orang deg-degan. Saya jadi teringat Jumatnya saya nonton Hot Fuzz, film yang bikin saya ngakak sepanjang pertandingan.
"Heellloooo..kenapa kamu jadi sering nonton film???"
"Heellloooo..kenapa kamu jadi sering nonton film???"
"Maaf Bu...saya lagi frustasi"
Saya sebenarnya ndak begitu suka nonton film. Apalagi sinetron, atau apalah itu namanya. FTV? ya, ya itulah...Saya lebih suka mendengarkan musik. Itu jauh lebih nikmat. Dan yang paling nikmat dari itu semua adalah membaca buku. Tapi kadang-kadang, nafsu membaca buku saya kalah oleh nafsu nonton film. You know lah...kalau kita baca buku kan, kita mengkhayal-khayal apa yang terjadi. Sementara kalau film kan dramatisasinya jelas karena visualisasi berbicara banyak.
Seven pound sendiri ceritanya tentang...apa ya, aku kok bingung. Pokoknya intinya dan poin utamanya adalah...hmm. Tentang seseorang yang ingin mendonorkan segala hal yang berharga dalam hidupnya yang selama beberapa waktu terakhir ini sangat makmur dan serba ada. Tapi kecelakaan yang telah merenggut beberapa nyawa akibat kecerobohannya (nyetir sambil sms-an) membuat dia merasa bersalah. Singkatnya, dia putuskan mengabdi kepada beberapa orang-orang baik yang hidupnya sengsara yang ia pilih secara acak untuk ia berikan organ tubuhnya, hartanya, cintanya, dan segala yang ia miliki. Keren banget deh...Heroik!
Kembali ke pohon..
Ini cerita yang benar-benar mengena di hati nurani saya. Tadi pagi, saya pergi ke nikahannya Bundo Upik di daerah, entahlah...pedalaman sekali. Saya berangkat dengan AA Yuda dan Mas Teguh. Orang kedua yang saya sebut adalah kawan baik saya semasa di LM dulu. Dia pernah nyapres BEM ITS membawa gerbong HMI yang lumayan sukses. Namun, masih kalah sama Ersyado Gillardino Ora Iso Opo Opo yang juga masih kawan plek saya.
Teguh sedang kesepian. Sebab teman-teman LM sudah mencar entah kemana saja. Tinggal saya yang bodoh ini masih mengendap di kampus, ora lulus-lulus (pancen macan kampus kowe, seperti jare Pemuda Harapan Bangsa). Jadilah Teguh meminta saya untuk nunut budal bareng. Padahal aku yo ora tau merono. Cuma, aku iki menang guaya tok. Kepedean gitu. Sok tau pula. Pokoke sing welek-welek lah.
Tadi janjian jam 6 pagi di Bungur. Untungnya, entah jodoh, entah takdir, entah hukum karma, saya dipertemukan dengan makhluk ini. Pertama kali ketemu tanggapan saya adalah: "Arek iki ora berubah blas rek. Tetep ae cengengesan ra jelas". Rek, aku wes suwi ra ketemu de'e. Untungnya langsung ketemu. Padahal niatnya, kalau memang tidak ketemu, saya mau pergi ke resepsionis terminal. "Halo...halo...yang namanya Teguh. Harap segera ke jalur lima. Bisnya tolong dicuci dulu". hehehe (guyon guh...guyon...).
Berhubung bus langsung berangkat, awak dewe tanpa tedeng aling-aling langsung mlebu ae nang bis jurusan Ponorogo. Begitu petunjuk dari Eyang Didi dan Mbah Upik tentang jalan menuju janur kuning mereka. Wes ta...pokoe aku ora ngerti blas. Sami'na waatho'na ae.
Sepanjang perjalanan, ada banyak orang yang berdiri. Ada laki-laki, ada perempuan, ada tua, ada muda, nano-nano lah. Pertama sih saya masih biasa-biasa saja. Maklum, saya baru menikmati duduk (setengah duduk ding, karena saya gak uman panggon, sebelah saya gede-gede) dan perjalanan kabarnya menempuh waktu lima jam. Jadi saya lebih bertahan di tempat duduk, meskipun sangat tidak nyaman.
Tapi makin ke sana makin banyak yang berdiri. Ah...saya jadi malu mau ceritakan ini. Saya seperti penjahat nurani saja. Saya biarkan nurani saya menggonggong, tapi saya hanya menganggapnya seperti kafilah berlalu. Padahal saudara-saudara, di depan mata saya ada seorang Ibu sedang berdiri. Ya Allah...kenapa saya egois banget. Egois-egois-egois...Sungguh teganya dirimu-dirimu-dirimu...
Saya seperti kehilangan jiwa saya. Padahal, dulu pas jaman sekolah, saya paling hobi naik bus kota. Juga paling hobi berdiri kalau keadaan duduk. Bagi saya, pantang hukumnya, seseorang lelaki berpakaian seragam sekolah tetap duduk di kursi dengan nyaman sementara ada ibu-ibu atau orang tua renta yang berdiri. Meskipun dari wajahnya tidak terlihat ada tanda-tanda kelelahan karena berdiri. Saya juga yakin mereka tidak akan meminta "Mas...Mas...saya ini Ibu-Ibu. Tolonglah kasih saya tempat duduk". Mengenai memberi tempat duduk, seharusnya sudah menjadi kesadaran. Tapi di dalam otak saya pada perjalanan kali ini adalah "Podo-podo mbayare, yo podo-podo mikir awake dewe masing-masing. Siapa cepat dia dapat".
Dari kejauhan aku lihat nuraniku menangis di sudut tembok. Aku benar-benar tak punya harga diri!
Dari kejauhan aku lihat nuraniku menangis di sudut tembok. Aku benar-benar tak punya harga diri!
Kejadian kedua ternyata belum juga bisa menyadarkan saya. Waktu itu, naiklah seorang Ibu menggandeng anaknya yang masih Balita, berjilbab...imut-imut pula. Ya Allah...saya pun belum sadar. Sama sekali masih dalam kesombongan. Saya nggak bisa lagi ngelanjutkan cerita ini. Karena saya butuh waktu sekitar 10 menit, untuk mengembalikan kesadaran nurani saya yang pingsan karena mati terisak-isak.
Barulah Teguh berdiri memberi tempat duduk kepada Ibu itu. Waktu itu perjalanan masih sampai Mojokerto. Alias sepertiga perjalanan. Saya sebenarnya tidak tahu kalau Teguh berdiri sampai Yuda memberi tahu: "Bah, Bah, Teguh ngadek". Saya langsung melihat dia berdiri sambil tersenyum menatap wajah saya.
Barulah Teguh berdiri memberi tempat duduk kepada Ibu itu. Waktu itu perjalanan masih sampai Mojokerto. Alias sepertiga perjalanan. Saya sebenarnya tidak tahu kalau Teguh berdiri sampai Yuda memberi tahu: "Bah, Bah, Teguh ngadek". Saya langsung melihat dia berdiri sambil tersenyum menatap wajah saya.
You know, apa yang saya lakukan setelah itu?
Saya cuek sambil kembali menyandarkan punggung dan kepala saya dengan nyaman. (ini adalah salah satu yang terhebat di antara kebodohan-kebodohan tingkat tinggi yang saya lakukan pada minggu ini)
Nurani saya masih kuat bangun ternyata. Ia menggedor-gedor lagi hati saya. Ia menuntut saya melakukan apa yang menjadi aspirasi bagi Rakyat Nurani yang melarat itu. Saya masih dalam logika berpikir yang mbulet. Saya masih mikir untung-rugi seperti "berapa lama nantinya saya berdiri?" "Apakah bis ini akan penuh terus seperti ini?" "Apakah...apakah...apakah...dan banyak pertanyaan yang ngguilani puol berkecamuk di dalam hati saya.
Setelah lima menit akhirnya saya mencolek Teguh. "Guh..Guh...Panggilen Ibu-Ibu iku. Suruh duduk sini". Akhirnya saya berdiri lumayan luama (agaknya berlebihan...karena saya dulu biasa bermain bola berjam-jam. Main bola = berlari. Saat ini aku hanya berdiri. Memang dasar mentalku saja yang kurang waras). Tapi saya senang! Semua ada hikmahnya. Segala ketakutan saya pun usai. Setengah jam terakhir perjalanan, saya bisa duduk dengan nyaman dan lapang.
Jadi, kenapa kita perlu takut untuk berkorban? Kenapa kita perlu menunggu orang lain berkorban dulu baru kita turut berkorban? Kenapa kita selalu menghitung-hitung, sementara Tuhan yang Maha Adil saja tidak pernah meminta perhitungan atas nikmat yang kita dapat sehari-hari?
Saya sedang mengulang-ulang pertanyaan itu di dalam benak saya. Mudah-mudahan, saya sadar.
*ditulis sambil menikmati "Killing In The Name". Ya Allah...Mau ditaruh mana rasa malu saya ini. Hari ini nuraniku pingsan. Bagaimana dengan esok hari. Akankah aku masih diizinkan memiliki harta berharga itu?*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar