Quo Vadis? Kita memang selalu dipertanyakan orang tentang langkah-langkah selanjutnya. Menurutku wajar. Berarti orang-orang tersebut hendak mempedulikan kemana kita berlayar dan kemana kita berlabuh. Tapi kan, kita perlu perhatikan juga. Kenyatannya, detik ini pun kita belum membuang sauh. Bahkan perbekalan kita masih hampa.
Aku sadar, ini mungkin kesalahan kita. Kita tak bersegera menarik jangkar. Kita masih saja duduk di dermaga. Terlalu lama kita memandangi cuaca. Menurutku, cuaca itu juga tidak akan pernah kita bisa rubah. Sampai kapanpun, cuaca akan selalu melempar teka-teki yang teramat sulit kita tebak. Sehingga satu jalan yang penting kita lakukan segera adalah membuat layar kita terkembang melawan angin. Aku ingin, kita memanjat tiang-tiang itu serta melepas tali-talinya untuk kemudian aku beri komando bahwa pulau sebrang mesti kita hampiri.
Mengapa kita diam?
Bukankah kapal-kapal lain sudah berlayar jauh hari sebelum kita. Tidakkah kita hendak pergi menyusurinya juga? Ataukah kita menetap saja di sini? Di kota perdagangan yang telah membuat kita kaya terlena. Di kota penuh kedamaian yang membuat kita terlalu betah sehingga tak pernah lagi berjumpa marabahaya. Di kota tempat istri-istri kita mengandung benih-benih yang siap terbit dari perut bumi.
Lalu, lupakah kita akan janji di Tordesilas? Saat kita memandang bumi sebagai milik kita seorang. Saat badai menjadi piaraan kita. Saat tornado menjadi kawan perjalanan kita yang ramah. Kita kembali terlupa, bahwa diri kita adalah pelaut ulung. Janji kita untuk selalu menantang bahaya, adalah janji suci yang tidak akan kita nodai.
Baiklah, baiklah. kalau di antara kita memang ada yang ingin tetap tinggal di sini. Mulai sekarang, jadilah kita petani-petani malang yang menangisi perbuatan hama. Maafkan aku. Aku tidak akan tega meninggalkan marabahaya hanya menerkam kapal-kapal pemberani lainnya. Aku ingin menjemput mereka. Maafkan aku, kalau ternyata kita tidak bisa lagi bersama. Aku ingin pergi ke negeri antah berantah dimana serigala akan menjadikan aku sarapan terakhirnya.
Aku sadar, ini mungkin kesalahan kita. Kita tak bersegera menarik jangkar. Kita masih saja duduk di dermaga. Terlalu lama kita memandangi cuaca. Menurutku, cuaca itu juga tidak akan pernah kita bisa rubah. Sampai kapanpun, cuaca akan selalu melempar teka-teki yang teramat sulit kita tebak. Sehingga satu jalan yang penting kita lakukan segera adalah membuat layar kita terkembang melawan angin. Aku ingin, kita memanjat tiang-tiang itu serta melepas tali-talinya untuk kemudian aku beri komando bahwa pulau sebrang mesti kita hampiri.
Mengapa kita diam?
Bukankah kapal-kapal lain sudah berlayar jauh hari sebelum kita. Tidakkah kita hendak pergi menyusurinya juga? Ataukah kita menetap saja di sini? Di kota perdagangan yang telah membuat kita kaya terlena. Di kota penuh kedamaian yang membuat kita terlalu betah sehingga tak pernah lagi berjumpa marabahaya. Di kota tempat istri-istri kita mengandung benih-benih yang siap terbit dari perut bumi.
Lalu, lupakah kita akan janji di Tordesilas? Saat kita memandang bumi sebagai milik kita seorang. Saat badai menjadi piaraan kita. Saat tornado menjadi kawan perjalanan kita yang ramah. Kita kembali terlupa, bahwa diri kita adalah pelaut ulung. Janji kita untuk selalu menantang bahaya, adalah janji suci yang tidak akan kita nodai.
Baiklah, baiklah. kalau di antara kita memang ada yang ingin tetap tinggal di sini. Mulai sekarang, jadilah kita petani-petani malang yang menangisi perbuatan hama. Maafkan aku. Aku tidak akan tega meninggalkan marabahaya hanya menerkam kapal-kapal pemberani lainnya. Aku ingin menjemput mereka. Maafkan aku, kalau ternyata kita tidak bisa lagi bersama. Aku ingin pergi ke negeri antah berantah dimana serigala akan menjadikan aku sarapan terakhirnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar