Aku menggandeng tangan ayah. Genggaman memenuhi telapak tanganku dengan erat. Saat itu, aku masih berumur 7 tahun. Sedari seminggu lalu, ayah bikin janji. "Nak, Ayah akan ajak kamu ke sebuah tempat nan indah."
Aku mendongak girang. Senyumku lepas. Gigiku yang putih bersih, terkibas angin kebahagiaan tiada taranya. Aku melompat. Lalu menghampiri Ibu. Ia pun membalas pelukanku dengan mesra. Berbisik kepadaku,"Kamu pasti akan suka!".
Semakin membumbunglah bayangan indah itu. Memabukanku dalam lamunan, sehingga selama sepekan penantian, tak henti-hentinya aku mengumbar senyum. Maklum, rekreasi adalah hal yang paling dirindukan anak-anak.
Hari itu pun tiba. Ayah sudah necis sejak pagi. Sedang aku? Baru saja tergugah, setelah cukup lama Ibu menggoyang-goyang tanganku. Sepertinya Ibu kesulitan membangunkanku. Tadi malam, aku meloncat-loncat gembira dari satu sofa ke sofa lain. Lumayan melelahkan.
Sekejap, badanku harum dan pakaianku bersih. Ibu memanggulkan sebuah tas di pundakku. Isinya hanya sebuah kamera kecil dan air minum. Ibu berpesan,"jangan lupa foto-foto ya, buat kenangan.". Aku sekedar mengangguk.
Sepeda motor tua Ayah mengantar kami pergi. Melintasi gunung, padang rumput, sawah, kemudian berhenti di sebuah keramaian. Aku baru tahu, tempat keramaian itu bernama alun-alun. Aku berbisik dalam hati,"Oh, mungkin ini,". Soalnya, aku dengar banyak tawa anak-anak. Tawa yang terbit dari jungkat-jungkit, ceria yang menggema dari kolam mandi bola, serta riang yang melang-lang dari pertunjukan yang tenang.
Tapi, langkah ternyata berlanjut. Di sebuah gedung tinggi, aku sempat membaca huruf yang terpasang besar-besar: "SETASIUN". Ada pula keramaian di sana. Hanya saja, minus tawa anak-anak.
Aku menarik baju Ayah,"Ayah, Ayah, kita mau kemana?". "Pergi" jawab Ayah singkat. "Kemana Ayah?". "Ke tempat yang indah". Ayah tak beritahu dengan jelas. Aku menebak. Apa memang, tempat itu istana boneka seperti yang aku lihat di film kartun? Ah...sepertinya tidak mungkin.
Ayah kemudian duduk di tangga pintu masuk. Ia tak beli tiket. Bahkan tak sekalipun berniat melirik loket. Apalagi melihat kereta berseliweran. Aku pun meniru Ayah. Duduk manis.
Tiba-tiba Ayah memandangku syahdu. Rambutku dibelainya. Badanku direkatkannya. Keningku sempat diciumnya. "Kamu tahu Nak. Stasiun inilah yang mempertemukan kita,".
Aku bingung. "Apa maksud Ayah?". Dalam kebingungan yang membeku, ia hanya membalas dengan senyum. Lalu tatapannya hilang sekejap. Ia memandang jauh ke seberang jalan. Seperti sedang memperhatikan setiap detail hiruk pikuk.
Setengah jam di sana, tanpa banyak basa-basi, akhirnya kami pulang. Tetap dengan motor tua yang suaranya bising itu. Dan aku pun tersadar, istana boneka yang aku bayangkan tidaklah kesampaian. Indah bagi Ayah dan Ibu cukup aneh bagiku. Aku tak tahu apa maksudnya.
Sampai di rumah, aku menuju kamar. Dari balik pintu kamar, aku dengar Ayah bicara dengan Ibu, setengah berbisik,"Kelak dewasa, semoga anak itu tahu tentang stasiun pertemuan kita,". Mereka menjalin peluk hangat. Dari lubang kunci akhirnya aku tahu, air mata Ibu sempat jatuh ke pundak ayah.
Aku mendongak girang. Senyumku lepas. Gigiku yang putih bersih, terkibas angin kebahagiaan tiada taranya. Aku melompat. Lalu menghampiri Ibu. Ia pun membalas pelukanku dengan mesra. Berbisik kepadaku,"Kamu pasti akan suka!".
Semakin membumbunglah bayangan indah itu. Memabukanku dalam lamunan, sehingga selama sepekan penantian, tak henti-hentinya aku mengumbar senyum. Maklum, rekreasi adalah hal yang paling dirindukan anak-anak.
Hari itu pun tiba. Ayah sudah necis sejak pagi. Sedang aku? Baru saja tergugah, setelah cukup lama Ibu menggoyang-goyang tanganku. Sepertinya Ibu kesulitan membangunkanku. Tadi malam, aku meloncat-loncat gembira dari satu sofa ke sofa lain. Lumayan melelahkan.
Sekejap, badanku harum dan pakaianku bersih. Ibu memanggulkan sebuah tas di pundakku. Isinya hanya sebuah kamera kecil dan air minum. Ibu berpesan,"jangan lupa foto-foto ya, buat kenangan.". Aku sekedar mengangguk.
Sepeda motor tua Ayah mengantar kami pergi. Melintasi gunung, padang rumput, sawah, kemudian berhenti di sebuah keramaian. Aku baru tahu, tempat keramaian itu bernama alun-alun. Aku berbisik dalam hati,"Oh, mungkin ini,". Soalnya, aku dengar banyak tawa anak-anak. Tawa yang terbit dari jungkat-jungkit, ceria yang menggema dari kolam mandi bola, serta riang yang melang-lang dari pertunjukan yang tenang.
Tapi, langkah ternyata berlanjut. Di sebuah gedung tinggi, aku sempat membaca huruf yang terpasang besar-besar: "SETASIUN". Ada pula keramaian di sana. Hanya saja, minus tawa anak-anak.
Aku menarik baju Ayah,"Ayah, Ayah, kita mau kemana?". "Pergi" jawab Ayah singkat. "Kemana Ayah?". "Ke tempat yang indah". Ayah tak beritahu dengan jelas. Aku menebak. Apa memang, tempat itu istana boneka seperti yang aku lihat di film kartun? Ah...sepertinya tidak mungkin.
Ayah kemudian duduk di tangga pintu masuk. Ia tak beli tiket. Bahkan tak sekalipun berniat melirik loket. Apalagi melihat kereta berseliweran. Aku pun meniru Ayah. Duduk manis.
Tiba-tiba Ayah memandangku syahdu. Rambutku dibelainya. Badanku direkatkannya. Keningku sempat diciumnya. "Kamu tahu Nak. Stasiun inilah yang mempertemukan kita,".
Aku bingung. "Apa maksud Ayah?". Dalam kebingungan yang membeku, ia hanya membalas dengan senyum. Lalu tatapannya hilang sekejap. Ia memandang jauh ke seberang jalan. Seperti sedang memperhatikan setiap detail hiruk pikuk.
Setengah jam di sana, tanpa banyak basa-basi, akhirnya kami pulang. Tetap dengan motor tua yang suaranya bising itu. Dan aku pun tersadar, istana boneka yang aku bayangkan tidaklah kesampaian. Indah bagi Ayah dan Ibu cukup aneh bagiku. Aku tak tahu apa maksudnya.
Sampai di rumah, aku menuju kamar. Dari balik pintu kamar, aku dengar Ayah bicara dengan Ibu, setengah berbisik,"Kelak dewasa, semoga anak itu tahu tentang stasiun pertemuan kita,". Mereka menjalin peluk hangat. Dari lubang kunci akhirnya aku tahu, air mata Ibu sempat jatuh ke pundak ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar