Selasa, 01 November 2011

Menyaksikan Tuhan Tertawa

Milan Kundera, novelis Ceko yang terkenal itu pernah berkata,"Tuhan tertawa saat manusia berpikir,".

Entah ini bentuk tawa kebanggaan, keharuan dan kebahagiaan karena manusia yang notabene ciptaan-Nya yang paling favorit, akhirnya bisa beroperasi sesuai fungsinya. Atau malah sebuah tawa ironis sekaligus menyindir tentang keangkuhan manusia yang mencoba menghitung-hitung kekuatannya, lalu terkadang membanding-bandingkannya dengan kekuatan Tuhan. Ya... inilah salah satu bentuk kesombongan spesies kita.

Yang pasti Kundera telah bicara jujur. Ia telah membangkitkan hasrat humor di tengah keseriusan etika kapitalisme. Mungkin juga era globalisasi yang memacu manusia terlalu cepat. Seperti balapan sepeda kumbang melawan motor besar 1000 cc.

Aku kira, aku telah kehilangan jati diri sekarang. Entah siapa yang memformat ulang. Yang pasti, nafas humor yang dulu dengan bangga aku miliki, kini mulai terkikis. Ya, terhempas frustasi realitas, dan sering aku menyerah di dalamnya.

Kapan hari aku baca "Student Hidjo"-nya Mas Marco. Buku terbitan 1918 ini cukup menyindir aku. Kisahnya tentang Hidjo, anak yang lugu dan rajin baca buku, lalu pergi ke Eropa, kemudian kembali lagi ke Hindia dengan wataknya yang sudah berubah. Pemuda yang pendiam itu malah berubah blingsatan. Dan, "dengan sukses" menghamili Betje, anak Ibu kosnya di Belanda yang lumayan "agresif" sebagaimana lazimnya wanita barat.

Itu gara-gara Hidjo mendengar kisah opera Faust. Opera itu berkisah tentang lelaki bernama "Faust" yang sangat gemar belajar dan bergumul dengan tebal-tebalnya buku. Waktunya yang tersita oleh buku, membuatnya tak sempat mencicipi kesenangan dunia. Para kawannya menjuluki ia seperti seorang "saint" yang suci nan anti keduniaan.

Singkat cerita, di masa tuanya, ia jatuh cinta pada seorang wanita bersuami. Cinta terlarang itu berlangsung hingga ke atas ranjang. Ia lupa neraka jahannam yang dulu diseganinya. Akhirnya ia mati tanpa membawa kepandaian yang dipupuknya bertahun-tahun lamanya. Ia terjerumus oleh godaan nafsu angkara murka.

Kemudian, setelah opera, noni-noni Belanda yang cantik-cantik itu, bertanya dengan nada sindiran,"Apakah Tuan Hidjo hendak seperti Faust?". Mereka tertawa dan Hidjo merenung dalam.

Di sebuah kisah lain, tumpukan buku juga membuat orang tidak waras jalan berpikirnya. Cervantes menceritakannya tiga abad lalu lewat Don Quixote-nya yang tersohor. Kadang memang, pergulatan dengan buku membuat kita berpikir dalam, jernih, dan suci. Tapi buku juga memaksa kita menahan tawa terlalu dalam. Memaksa mata kita untuk lebih banyak bergerak, ketimbang mulut yang mengembang senyum.

Kundera juga menyebutkan, bahwa musuh dari gairah hidup serta kreativitas adalah agelaste. Istilah ini berasal dari Yunani kuno. Bercerita tentang kaum cerdik pandai, orang-orang level atas, yang mempunyai nihilitas dalam sifat kehumoran. Mereka susah tertawa.

***
Tujuh tahun lalu, aku berdiri di sebuah mimbar. Kemudian aku berorasi dan orasi itu membuat audiens mengocok perutnya. Kala itu masih SMA kelas 2. Aku bahagia sekali mesti harus menelan pil pahit kekalahan. Aku gagal jadi ketua sebuah organisasi intrasekolah. Hehe.

Sekarang aku berbeda. Aku malah terlalu serius. Tidak ada lagi darah sanguin yang bergejolak. Tidak ada lagi aksi nekat ditampilkan. Bahkan banyak yang bilang, aku terlalu frigid. Wow...

Kundera benar. Humor menjadi penting untuk mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini disusupi keputusasaan. Dan, keputusasaan itu lebih banyak muncul akibat monopoli klaim kebenaran oleh realitas. Seakan-akan kebenaran hanya satu. Persepsi cuma boleh satu. Pendapat harus satu. Parameter keberhasilan hanya boleh satu jalan. Cita-cita mesti bermuara sama pula.

Padahal kan tidak.  

Tertawa muncul akibat persepsi. Dan di tiap kepala manusia, persepsi itu muncul dari jalan-jalan yang bercabang. Tapi kemudian hentakan telah membuatnya tertawa. Berarti ada frekuensi yang menghilangkan variasi persepsi. Kemudian bersama-sama menuju pencerahan imajinasi. Maka di sini kita bisa tarik kesimpulan bahwa kesehatan jiwa itu seputar humor, toleransi, dan imajinasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar