Aku memang tak pernah baca Pramoedya. Tak begitu menarik bagiku. Apa sebabnya? Apalagi kalau bukan...karya-karya beliau yang terlalu tebal. Malas aku.
Mengapa banyak orang jatuh hati dengan Pram. Aku sendiri tidak begitu simpatik. Meskipun beliau ini mengalami kezhaliman di masa Orde Baru, tapi bagiku hal itu adalah konsekuensi dari kekalahan kelompoknya (baca: kaum kiri) di pentas politik nasional akibat Gestapu 1965.
Wajar saja, beliau menerima itu. Karena sebelumnya, aktivis yang Masyumi and PSI-affliated harus menerima perlakuan sama kerasnya. Seperti Mochtar Lubis dan Hamka. Bahkan, beberapa bukti menyebutkan, Pram bersama Lekra-lah yang "berjasa" menyeret beberapa sastrawan "kontrev" ke penjara.
Memang begitulah seharusnya. Namanya juga konsekuensi. Kalau Pram orang yang teguh pendirian, pastilah ia bersabar. Bahwa penjara ini adalah salah satu perjalanan "religius"-nya dalam mencapai kebenaran Marxisme-Leninisme yang ia agungkan itu.
Sehingga saranku, bagi orang-orang yang hendak membangkitkan lagi nama Pram -yang memang aku akui, dia punya karya besar- bukanlah didasari atas kezhaliman yang menimpa dirinya. Tapi lebih disebabkan oleh karya-karya monumentalnya yang dahulu diberangus tanpa sebab.
Mengapa beliau mesti diberi penghormatan tinggi? Meskipun, semasa jayanya, beliau yang paling keras suaranya dalam pengganyangan melawan Koes Plus, The Beatles dan musik Ngak-Ngik-Ngok lainnya. Serta permusuhannya yang amat keras kepada "Manikebuis" seperti HB Jassin, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS Rendra, bahkan Chairil Anwar.
Saat itu, seni dibelenggu oleh penafsiran materalisme dialektik. Rasa-rasanya, saat itu, Indonesia seperti China di era Revolusi Kebudayaan. Bagi komunis, beda suara adalah haram. Mesti dilenyapkan. Kalau perlu dengan kejam.
Tapi, apa salahnya kita saling memaafkan. Lupakan masa lalu. Pram muda memang terlalu sering kalap dan khilaf. Bagaimanapun juga, karyanya adalah persembahan terbaik dari seseorang yang peduli nasib bangsanya.
Kita maklumi saja.
Mengapa banyak orang jatuh hati dengan Pram. Aku sendiri tidak begitu simpatik. Meskipun beliau ini mengalami kezhaliman di masa Orde Baru, tapi bagiku hal itu adalah konsekuensi dari kekalahan kelompoknya (baca: kaum kiri) di pentas politik nasional akibat Gestapu 1965.
Wajar saja, beliau menerima itu. Karena sebelumnya, aktivis yang Masyumi and PSI-affliated harus menerima perlakuan sama kerasnya. Seperti Mochtar Lubis dan Hamka. Bahkan, beberapa bukti menyebutkan, Pram bersama Lekra-lah yang "berjasa" menyeret beberapa sastrawan "kontrev" ke penjara.
Memang begitulah seharusnya. Namanya juga konsekuensi. Kalau Pram orang yang teguh pendirian, pastilah ia bersabar. Bahwa penjara ini adalah salah satu perjalanan "religius"-nya dalam mencapai kebenaran Marxisme-Leninisme yang ia agungkan itu.
Sehingga saranku, bagi orang-orang yang hendak membangkitkan lagi nama Pram -yang memang aku akui, dia punya karya besar- bukanlah didasari atas kezhaliman yang menimpa dirinya. Tapi lebih disebabkan oleh karya-karya monumentalnya yang dahulu diberangus tanpa sebab.
Mengapa beliau mesti diberi penghormatan tinggi? Meskipun, semasa jayanya, beliau yang paling keras suaranya dalam pengganyangan melawan Koes Plus, The Beatles dan musik Ngak-Ngik-Ngok lainnya. Serta permusuhannya yang amat keras kepada "Manikebuis" seperti HB Jassin, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS Rendra, bahkan Chairil Anwar.
Saat itu, seni dibelenggu oleh penafsiran materalisme dialektik. Rasa-rasanya, saat itu, Indonesia seperti China di era Revolusi Kebudayaan. Bagi komunis, beda suara adalah haram. Mesti dilenyapkan. Kalau perlu dengan kejam.
Tapi, apa salahnya kita saling memaafkan. Lupakan masa lalu. Pram muda memang terlalu sering kalap dan khilaf. Bagaimanapun juga, karyanya adalah persembahan terbaik dari seseorang yang peduli nasib bangsanya.
Kita maklumi saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar