Don, aku tahu kamu menungguku sekarang. Aku tahu juga kalau kamu tidak mau kehilanganku. Benar kan? Ayolah, mengaku saja. Jangan cuma tersipu. Gigimu kering lho nanti.
Don, kamu masih ingat, kapan pertama kali kita ketemu? Memang baru sih. Tapi karena baru itu, kesannya jadi begitu membekas. Aku merasa, kehadiranmu mengisi kekosongan hatiku. Ya, memang sih, hatiku itu sudah seperti batu. Keras nan sulit ditembus.
Tiap malam, aku jadi berpikir tentangmu. Wajahmu terngiang selalu. Tentang cita-cita kita. Yang mungkin sebentar lagi akan terkubur. Di kedalaman malam. Bersama harapan yang lekas sekali tenggelam.
Kini, aku hendak mengucap kata perpisahan. Aku tahu ini sulit. Aku tahu ini berat. Dan aku tahu, pasti kamu tak terima. Tapi beginilah waktu mengadili. Ia hanya tahu, kapan. Tanpa perlu bertanya apa. Sedangkan, perasaan itu butuh basa-basi. Butuh ditanyai. Terutama dengan tanya,"Apa kamu siap?".
Hatiku hendak berkata "tidak". Tapi aku tahan tuas gas di mulutnya. Terpaksa kusekap. Gantian, akalku menolak. Kubanting sampai pecah. Ia menyerah, keluar nanah, dan bersimbah darah. Ketika jantungku ingin berontak. Aku terpaksa layangkan kapak. Dan kini, ia berhenti berdetak.
Di antara seluruh ragaku, sebenarnya, tiada yang bermufakat. Semuanya, bahkan, beroposisi. Tapi, aku harus rasional. Tanpa putusan ini, toh aku mati-mati juga. We have no other alternative my dear.
Aku mengucap rasa terima kasih, atas segala atensimu. Atas semua rantang yang kamu kirim rajin-rajin di setiap pagi. Dan atas seluruh bulir air mata yang kamu beberkan di kelopak mataku. Rasanya, air mata itu yang tertinggal selalu, ketika jadwal besukmu habis dan kau pergi meninggalkanku.
Aku rasa semua itu cukup. Bahkan lebih dari cukup. Dan hal itu mampu menjawab kebimbanganku, tentang "apakah kamu masih setia denganku?". Ya, kau pun menjawabnya dengan anggun. Dan keanggunan itulah yang membuat aku sanggup bersabar hingga kini.
***
Di hari pengadilanku, kamu datang ya...
Meski aku tahu, kamu tak bisa bersaksi. Meski aku tahu, kehadiranmu tanpa arti, tanpa interupsi. Bahkan, meski aku tahu, kamu belum tentu diperbolehkan hadir. Tapi, cukuplah bagiku fotomu di kamarku yang aku pandangi seharian sebelum eksekusi dini hari nanti.
Ingat Don. Jangan pernah kau anggap aku pesakitan. Jangan pernah kau anggap aku, kriminil. Mayat yang sepantasnya mati.
Besok, sebelum fajar, aku akan mati sebagai pahlawan. Meski yang mengalahkanku bukanlah pedang atau peluru. Cuma segenggam cairan bius. Tapi, aku yakin, rakyat menyambut jasadku, besok pagi, dengan gigap gempita!
*catatan yang ditulis di depan eksekutor.
Don, kamu masih ingat, kapan pertama kali kita ketemu? Memang baru sih. Tapi karena baru itu, kesannya jadi begitu membekas. Aku merasa, kehadiranmu mengisi kekosongan hatiku. Ya, memang sih, hatiku itu sudah seperti batu. Keras nan sulit ditembus.
Tiap malam, aku jadi berpikir tentangmu. Wajahmu terngiang selalu. Tentang cita-cita kita. Yang mungkin sebentar lagi akan terkubur. Di kedalaman malam. Bersama harapan yang lekas sekali tenggelam.
Kini, aku hendak mengucap kata perpisahan. Aku tahu ini sulit. Aku tahu ini berat. Dan aku tahu, pasti kamu tak terima. Tapi beginilah waktu mengadili. Ia hanya tahu, kapan. Tanpa perlu bertanya apa. Sedangkan, perasaan itu butuh basa-basi. Butuh ditanyai. Terutama dengan tanya,"Apa kamu siap?".
Hatiku hendak berkata "tidak". Tapi aku tahan tuas gas di mulutnya. Terpaksa kusekap. Gantian, akalku menolak. Kubanting sampai pecah. Ia menyerah, keluar nanah, dan bersimbah darah. Ketika jantungku ingin berontak. Aku terpaksa layangkan kapak. Dan kini, ia berhenti berdetak.
Di antara seluruh ragaku, sebenarnya, tiada yang bermufakat. Semuanya, bahkan, beroposisi. Tapi, aku harus rasional. Tanpa putusan ini, toh aku mati-mati juga. We have no other alternative my dear.
Aku mengucap rasa terima kasih, atas segala atensimu. Atas semua rantang yang kamu kirim rajin-rajin di setiap pagi. Dan atas seluruh bulir air mata yang kamu beberkan di kelopak mataku. Rasanya, air mata itu yang tertinggal selalu, ketika jadwal besukmu habis dan kau pergi meninggalkanku.
Aku rasa semua itu cukup. Bahkan lebih dari cukup. Dan hal itu mampu menjawab kebimbanganku, tentang "apakah kamu masih setia denganku?". Ya, kau pun menjawabnya dengan anggun. Dan keanggunan itulah yang membuat aku sanggup bersabar hingga kini.
***
Di hari pengadilanku, kamu datang ya...
Meski aku tahu, kamu tak bisa bersaksi. Meski aku tahu, kehadiranmu tanpa arti, tanpa interupsi. Bahkan, meski aku tahu, kamu belum tentu diperbolehkan hadir. Tapi, cukuplah bagiku fotomu di kamarku yang aku pandangi seharian sebelum eksekusi dini hari nanti.
Ingat Don. Jangan pernah kau anggap aku pesakitan. Jangan pernah kau anggap aku, kriminil. Mayat yang sepantasnya mati.
Besok, sebelum fajar, aku akan mati sebagai pahlawan. Meski yang mengalahkanku bukanlah pedang atau peluru. Cuma segenggam cairan bius. Tapi, aku yakin, rakyat menyambut jasadku, besok pagi, dengan gigap gempita!
*catatan yang ditulis di depan eksekutor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar