Jumat, 25 November 2011

Mengalah

Tanah bengkok yang berhektar-hektar itu memang hak Tarjo setelah 40 tahun jadi lurah.

"Kek, tanah seluas ini buat apa?" tanya Tantri yang baru saja lulus SMA.

"Buat kamu, Cucuku"

"Kenapa tidak kakek jual buat pengobatan kakek"

"Buat apa Nak? Kakek sudah tua. Sudah waktunya"

Tarjo sudah terbiasa menjawab pertanyaan sejenis. Dulu, Amri, anak pertamanya yang sekarang bekerja di Jakarta, juga bertanya itu. Lina, anak keduanya yang bersuamikan direktur sebuah perusahaan besar itu, juga pernah. Dari kesepuluh anak dan hampir dua puluh cucunya, pernah bertanya hal yang sama. Tapi yang paling rajin, Sarinah, istrinya.

Sebulan kemudian, Tarjo masuk UGD. Darahnya tinggi. Di atas 250. Kata dokter, ini namanya stroke. Tapi, untungnya, Tarjo masih sadar.

"Pak, Bapak mau kan Amri kirim ke Singapura? Berobat di sana saja"

"Mmm, Ba, Ba, Bapak, nggak punya uang Mri..."

"Kan ada tanah bengkok Pak. Kita jual saja"

Tarjo menggeleng.

"Jangan, itu hartamu Nak"

Amri menuju ruang tunggu. Ia menemui keluarga besar dengan wajah tersungut. "Tidak ada jalan keluar" Amri menggeleng seakan-akan dokter sudah memvonis mati. 

Tarjo akhirnya hanya menginap sehari saja di UGD.

Setelah acara yasin tujuh harinya, satu per satu anak serta cucu Mbah Tarjo datang lengkap ke rumah kediamannya yang paling megah di desanya.

Sarinah terlihat membagikan selembar kertas.

"Akhirnya kita dapat juga Pah" ujar Yani sambil memelototi angka 3000 meter persegi.

Amri tersenyum.



Don't forget to love yourself. (Soren Kierkegaard)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar