Bukan Ani yang bicara begitu. Ani masih terlalu kecil untuk berpikir. Bahkan untuk mengucap kata "Leukimia" itu sendiri saja, Ani tergagap-gagap. "Lukima," begitu kata Ani.
Marsinah-lah yang memendam rasa itu. Ibunda Ani ini yang selalu bertanya dalam hati,"Kalau saja...keguguran di bulan kelima itu, setelah aku terjatuh dari motor, benar-benar terjadi, toh hasilnya tidak akan seperti ini,".
Kini, Marsinah berjuang sendiri. Priyanto, suaminya, mati duluan. Dahulu mereka masih bisa bahu membahu membagi kesedihan. Tapi sejak tiadanya Priyanto, Marsinah mesti menanggung sendiri. Dia-lah yang merawat Ani dengan sabar. Mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Sampai mengais nafkah dengan kedua telapak tangannya yang semakin lemah itu. Marsinah frustasi.
Di balik alisnya yang mengerut dan tatapan matanya yang kosong, ia menerbangkan sendok berisi bubur ke mulut Ani. "Nyaaaammmm,". Ani paling suka adegan ini.
"Lagi Bu, lagi...,"
Ibu Ani tetap kosong. Tanpa ekspresi. Tanpa antusiasme. Sendok itu terbang tanpa diiringi senyuman. Sebagaimana seharusnya seorang Ibu ketika sedang menyuapi anaknya. Mulut calon gadis itu menganga, mengikuti kemana terbangnya.
Marsinah memandangi putrinya yang berkulit putih halus nan bersih, pipi tembem serta merasuki bulat matanya yang bersinar. Ani memang menggemaskan. Banyak tetangga mimpi memiliki anak seperti Ani. Tapi mengundurkan diri dari mimpi. Hanya karena sebuah penyakit.
Ani belum tahu, penyakit itu yang akan menghabisi hidupnya. Sebentar lagi. Ya, hanya menghitung hari. Prediksi dokter sepuluh hari lagi. Ketika rambutnya makin rontok, tubuhnya makin lemas, digerogoti medical treatment yang menyumpal mulutnya, ajal akan menghampiri. Cepat atau lambat.
"Ani...Ibu keluar dulu ya,"
"Jangan lama-lama ya Bu," ujar Ani dari pembaringannya yang sudah berlangsung sembilan hari di ICU itu.
"Ibu ingin ke toilet, Nak"
***
"Apa ini hari terakhirku bersama buah hatiku Ya Tuhanku?"
Marsinah menangis dibalik hijabnya. Ruku putih bersih menyelimuti, wajahnya menunduk, serta tangannya menengadah tinggi-tinggi.
Di sebuah sudut rumah ibadah di pojok rumah sakit, penyerahan diri Marsinah diberikan cuma-cuma. Tersungut hatinya sampai nafas ia ambil setengah-setengah. Isaknya terlalu dalam, jantungnya sempat mogok berdetak.
"Bu...kenapa menangis?" suara lembut datang menyisir telinga Marsinah.
"Anak saya sudah dirawat sepuluh hari di ICU, tapi tak kunjung selesai,"
"Sakit apa Bu..."
Marsinah diam. Menunggu semenit untuk kemudian membuka katup mulutnya.
"Leukimia...Bu,"
"Oh...," ujarnya.
Marsinah keheranan. Kenapa cuma "Oh". Apa Ibu ini tidak punya simpati. Apa memang manusia tidak lagi dihinggapi nurani. Kenapa cuma "Oh"? Padahal besok, menurut hitung-hitungan dokter, adalah hari kematian Ani.
"Anak pertama saya seminggu lalu meninggal di sini. Dan hari ini saya harus menyaksikan anak kedua berbaring di kamar yang sama, di pembaringan yang sama,".
Marsinah terperanjat.
"Anak Ibu sakit apa?"
"Sama seperti anak Ibu,"
"Bagaimana tidak sedih. Anak saya lagi lucu-lucunya bermain dengan saya. Umurnya masih 7 tahun. Ia menggemaskan. Tapi kenapa tuhan rela memanggil secepat itu," Marsinah membiarkan mulutnya berkata panjang-lebar, melepaskan penat yang selama ini menimbun mentalnya.
Sang Ibu membalas dengan senyum ironis. "Pertanyaan saya sama dengan pertanyaan Ibu,"
Marsinah makin bingung. Mengapa ada Ibu setegar ini. Padahal ia juga punya kasus yang sama dengan saya. Tapi...tapi...tapi...
"Kenapa Ibu bisa tenang begini...," tanya Marsinah.
"Karena saya yakin. Tuhan punya maksud baik. Lagipula, anak saya ini sebenarnya bukan milik saya. Dia ya kan memang milik Sang Penciptanya."
Tiba-tiba ada suara sayup beteriak memanggil nama Marsinah. Bu Andri, tetangga Marsinah yang sejak dua hari lalu menemani Marsinah, datang tergopoh-gopoh ke masjid. Marsinah melihat mata Bu Andri diusap memakai jilbab yang teruntai.
Sambil terisak Bu Andri terbata-bata bicara,"Bu, Bu, Ani, Bu...Ani!"
Marsinah langsung pingsan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar