Aku berdiri. Di depanku ada banyak manusia. Lima puluh kira-kira. Di sampingku ada empat makhluk lain yang sedang menunduk. Menahan dahsyatnya rasa malu.
Ya, ya, aku masih ingat. Ingat betul. Meski delapan tahun berlalu. Kala Kak Indra mulai tarik nafas panjang, aku segera buang nafas. Nafas yang kutahan sejak tadi. Nafas dari wajah yang memerah delima.
Di Masjid Ukhuwah Islamiyah itu mungkin kesan paling membekas. Dalam riwayat medis demam panggung, akulah pemegang rekornya. Aku tahu ini sifat bawaan. Meski keempat kawan lain bisa mengatasi itu, tetap saja aku kesulitan. Aku begidik takut. Bergetar malu. Keringat meluncur sejagung-jagung.
Aku dan keempat kawan itu membawa tiga tembang. Kurasa lumayan. Tidak ada fals. Tapi kami melakukan kesalahan besar sebagai seorang entertainer. Kita lupa eye contact.
Jelas saja, di antara 50 orang itu, tidak ada yang berjenis kelamin sama dengan kami.
Sial...Panitia bungkam saja.
Aku masing ingat, kami dapat amplop berisi uang 40 ribu dalam pecahan receh. Aku yang pegang, karena aku manajer keuangan. Tapi uang itu segera habis di rumah makan padang. Kami kelaparan.
Alhamdulillah, selama 2 tahun berkarir, Prima Voice mengajarkan pengalaman berharga. Selain tentang persaudaraan yang kekal, juga sebuah pengalaman pertama sebagai seorang entertainer. Meski gagal.
***
Hari ini aku mengisi lagi di sebuah acara. Entah sudah berapa kali aku diundang. Seingatku, sejak aku semester 4 sampai sekarang semester 11. Aku juga kadang bertanya-tanya, apa memang ada hal yang patut dicontoh dalam diriku sehingga pantas berdiri di hadapan mereka.
Kepalaku menggeleng.
Insya Allah, itu adalah hari terakhirku menjadi pembicara. Sebuah pekerjaan mulia tanpa pamrih. Pekerjaan yang melelahkan tapi menyenangkan. Meskipun aku akui, aku tak punya basic public speaking. Semuanya mengalir saja dan sepertinya agak parah cara bicaraku itu. Maklumi saja.
Dan dalam waktu dekat ini aku gantung pena. Berhenti jadi jurnalis (gadungan). Sehingga, habis sudah dua pekerjaan yang aku cintai bertahun-tahun terakhir ini. Aku kembali lagi jadi rakyat biasa.
Ya, ya, aku masih ingat. Ingat betul. Meski delapan tahun berlalu. Kala Kak Indra mulai tarik nafas panjang, aku segera buang nafas. Nafas yang kutahan sejak tadi. Nafas dari wajah yang memerah delima.
Di Masjid Ukhuwah Islamiyah itu mungkin kesan paling membekas. Dalam riwayat medis demam panggung, akulah pemegang rekornya. Aku tahu ini sifat bawaan. Meski keempat kawan lain bisa mengatasi itu, tetap saja aku kesulitan. Aku begidik takut. Bergetar malu. Keringat meluncur sejagung-jagung.
Aku dan keempat kawan itu membawa tiga tembang. Kurasa lumayan. Tidak ada fals. Tapi kami melakukan kesalahan besar sebagai seorang entertainer. Kita lupa eye contact.
Jelas saja, di antara 50 orang itu, tidak ada yang berjenis kelamin sama dengan kami.
Sial...Panitia bungkam saja.
Aku masing ingat, kami dapat amplop berisi uang 40 ribu dalam pecahan receh. Aku yang pegang, karena aku manajer keuangan. Tapi uang itu segera habis di rumah makan padang. Kami kelaparan.
Alhamdulillah, selama 2 tahun berkarir, Prima Voice mengajarkan pengalaman berharga. Selain tentang persaudaraan yang kekal, juga sebuah pengalaman pertama sebagai seorang entertainer. Meski gagal.
***
Hari ini aku mengisi lagi di sebuah acara. Entah sudah berapa kali aku diundang. Seingatku, sejak aku semester 4 sampai sekarang semester 11. Aku juga kadang bertanya-tanya, apa memang ada hal yang patut dicontoh dalam diriku sehingga pantas berdiri di hadapan mereka.
Kepalaku menggeleng.
Insya Allah, itu adalah hari terakhirku menjadi pembicara. Sebuah pekerjaan mulia tanpa pamrih. Pekerjaan yang melelahkan tapi menyenangkan. Meskipun aku akui, aku tak punya basic public speaking. Semuanya mengalir saja dan sepertinya agak parah cara bicaraku itu. Maklumi saja.
Dan dalam waktu dekat ini aku gantung pena. Berhenti jadi jurnalis (gadungan). Sehingga, habis sudah dua pekerjaan yang aku cintai bertahun-tahun terakhir ini. Aku kembali lagi jadi rakyat biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar