Hampir setahun kami bergerilya. Keluar-masuk hutan. Tanpa kita tahu nama hutan itu. Hutan yang amat ramah di siang hari. Tapi begitu buas saat bulan turun.
Entah berapa kilometer sudah ditempuh. Entah berapa kilometer lagi yang akan ditempuh. Aku rasa bebatuan ini tak punya ujung. Dimana kita bisa berhenti untuk menikmati hidup. Bukan seperti sekarang ini. Selalu tidak jelas nasib berkehendak apa.
Kemarin, sepasukan kompeni menyergap di ujung sungai. Entah sungai apa namanya. Yang pasti, ada tiga kawan kami tewas. Saat komandan bilang mundur, di belakang garis ada tiga tank dan sebuah truk berisi pasukan dengan senapan terkokang. Moncongnya melihat kami tajam. Hampir saja selongsong martir meluncur. Beruntung, semak-semak melindungi. Samar-samar kami pergi.
Begitulah dikala kami kena razia. Yang bisa kami lakukan hanya berdoa. Senjata kami hanya untuk melindungi diri. Bukan untuk agresi. Kalau disuruh berhadap-hadapan, jelas kalah. Taktik kami hit and run. Syukur-syukur bisa home run.
Tapi, biasanya, razia hanya berlaku siang hari. Malam hari, kompeni menjaga pos-posnya. Disiplin sekali. Sementara kami, memanfaatkan malam, dengan meluncur dari satu hutan ke hutan lain. Bisa jadi bentuk tikaman dari belakang. Atau lebih sering, bentuk menyelamatkan diri.
Kala malam itulah aku sering merenung. Aku ingat Asep, Ujang, dan Wawan. Dia yang pertama sekaligus dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan merekalah yang terakhir mati di kompi kami. Aku tidak tega. Wajahku selalu sembab. Tangisku untuk mereka.
Saat malam, kawan terbaikku hanya Ramlan, senapan semi otomatis yang aku dekap tiap berjaga malam. Ramlan aku curi dari serdadu Jepang. Bodinya masih bagus. Jarang macet. Sekali kutarik pelatuk, ada saja seorang musuh yang berteriak kesakitan. Aku tergolong penembak paling jitu di kompiku.
Tapi, apalah arti senapan itu. Ketiga kawanku jauh lebih bermakna. Ingin rasanya aku pergi dari peperangan ini. Tak perlulah ada lagi darah menggenang. Tak perlulah ada lagi tangis membanjir.
Di malam ini, di malam penjagaanku, aku masih terngiang mereka. Terutama momen terakhir, saat Asep memasang tubuhya di depan tubuhku sambil berteriak,"Awas Ramlan...". Saat ia gontai, aku sedang merunduk. Wajahnya jatuh tepat di depan mataku. Matanya sayu kemudian seperti hendak memberi pesan terakhir,"Jaga dirimu baik-baik. Lanjutkan terus perjuangan ini,".
Entah berapa kilometer sudah ditempuh. Entah berapa kilometer lagi yang akan ditempuh. Aku rasa bebatuan ini tak punya ujung. Dimana kita bisa berhenti untuk menikmati hidup. Bukan seperti sekarang ini. Selalu tidak jelas nasib berkehendak apa.
Kemarin, sepasukan kompeni menyergap di ujung sungai. Entah sungai apa namanya. Yang pasti, ada tiga kawan kami tewas. Saat komandan bilang mundur, di belakang garis ada tiga tank dan sebuah truk berisi pasukan dengan senapan terkokang. Moncongnya melihat kami tajam. Hampir saja selongsong martir meluncur. Beruntung, semak-semak melindungi. Samar-samar kami pergi.
Begitulah dikala kami kena razia. Yang bisa kami lakukan hanya berdoa. Senjata kami hanya untuk melindungi diri. Bukan untuk agresi. Kalau disuruh berhadap-hadapan, jelas kalah. Taktik kami hit and run. Syukur-syukur bisa home run.
Tapi, biasanya, razia hanya berlaku siang hari. Malam hari, kompeni menjaga pos-posnya. Disiplin sekali. Sementara kami, memanfaatkan malam, dengan meluncur dari satu hutan ke hutan lain. Bisa jadi bentuk tikaman dari belakang. Atau lebih sering, bentuk menyelamatkan diri.
Kala malam itulah aku sering merenung. Aku ingat Asep, Ujang, dan Wawan. Dia yang pertama sekaligus dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan merekalah yang terakhir mati di kompi kami. Aku tidak tega. Wajahku selalu sembab. Tangisku untuk mereka.
Saat malam, kawan terbaikku hanya Ramlan, senapan semi otomatis yang aku dekap tiap berjaga malam. Ramlan aku curi dari serdadu Jepang. Bodinya masih bagus. Jarang macet. Sekali kutarik pelatuk, ada saja seorang musuh yang berteriak kesakitan. Aku tergolong penembak paling jitu di kompiku.
Tapi, apalah arti senapan itu. Ketiga kawanku jauh lebih bermakna. Ingin rasanya aku pergi dari peperangan ini. Tak perlulah ada lagi darah menggenang. Tak perlulah ada lagi tangis membanjir.
Di malam ini, di malam penjagaanku, aku masih terngiang mereka. Terutama momen terakhir, saat Asep memasang tubuhya di depan tubuhku sambil berteriak,"Awas Ramlan...". Saat ia gontai, aku sedang merunduk. Wajahnya jatuh tepat di depan mataku. Matanya sayu kemudian seperti hendak memberi pesan terakhir,"Jaga dirimu baik-baik. Lanjutkan terus perjuangan ini,".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar