Jumat, 18 November 2011

Marhaenism

Sebenarnya sudah lama aku tuntas membaca buku karya Achmad Suhawi. Cuma baru-baru ini aku baca lagi buku itu. Judulnya: Gimnastik Politik Nasionalis Radikal. Buku itu berkisah banyak tentang sejarah kaum nasionalis, tapi kemudian lebih difokuskan kepada perjuangan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Aku hendak cerita tentang Marhaenism. Sebuah ideologi anak negeri. Sebuah pemahaman dari rahim pikiran anak negeri pula. Bung Karno adalah pencipta, pendiri sekaligus "nabi" bagi rakyat Marhaen. 

Dulu di masa tahun 1950-1965, Marhaenis sempat meraih popularitas tertinggi di kalangan mahasiswa. Namun akibat Gestapu -meski mereka tidak tersangkut secara langsung- mereka turut tergulung kaum oposisi yang sebelumnya selalu merunduk menghindari perang terbuka.

Di sini, mari kita lihat, apa itu Marhaenisme. Kalau Bung Karno bilang,"Marhaenisme adalah Marxisme yang dipraktikan di Indonesia,". Jadi, Marhaenisme itu, Marxisme dengan cita rasa Indonesia. Ibarat vodka dicampur tuak batak sama arak jowo.

Marhaen, bagiku, sebuah ideologi campur aduk. Sinkretisme sempurna. Percampuran pergulatan pemikiran Bung Karno yang telah dilaluinya bertahun-tahun. Dari falsafah Hindu kuno, sampai pada teori kebebasan ala Jefferson.

Marhaen, bagi kawan-kawan Marxis, tidak lebih sebagai borjuis kecil. Kalau kata Mao: "Kaum revisionis". Kaum yang bernasib seperti Liu Shaoqi, mantan orang kedua Partai Komunis Cina, yang kemudian "hampir" digantung di depan pengadilan rakyat.

Artinya, Marhaenisme kehilangan orisinalitas. Sinkretisnya terlalu naif. Terlalu menunjukkan bahwa Bung karno tidak punya perspektif baru. Jikalau mau mengaku "kiri", ya bilang saja saya "Marxis". Tak perlu ciptakan madzhab baru.

Dan benar saja. Marhaenisme digulung bersama dengan Marxisme. Sementara, ketika pembubaran Partai Sosialis Indonesia yang sebenarnya juga kiri, kaum komunis bertepuk tangan. Kaum marhenis yang katanya menghargai prinsip demokrasi, tidaklah mungkin menyambut tepuk tangan kaum komunis. Kaum yang menghendaki tegaknya diktatorisme proletariat. Jadi, marhaen tidak lebih seperti ekor bagi kaum komunis. Mereka kehilangan jati diri.

Aku kehilangan simpati terhadap Marhaenisme yang menurutku seharusnya bisa mengambil jatah besar dalam percaturan ideologi dunia. Tapi berhubung, konsepsinya bukanlah yang orisinil dan menghendaki jalan baru yang berani melawan tegas-tegas hal-hal yang berseberangan, maka mereka tidak lebih dari pengekor ideologi terkenal lain.

Marhaenisme akan hanya jadi retorika bagi banteng berlatar merah. Yang katanya pro rakyat miskin, tapi mobil mereka menumpuk, mewah-mewah. Yang katanya benci sekali dengan feodalisme, tapi diam-diam menyiapkan kerajaan partai dimana bapak, ibu, anak, dan cucu-cucunya menjadikan partai seperti arisan keluarga.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar