"Mri, Mri,, coba minum deh, enaaak bangeet" ujar Budi yang sedang memegang kantong plastik berisi minuman.
"Apaan ini Bud?" tanya Amri sambil menjauhkan hidungnya.
"Enak kok, beneran enak! Aku tiap hari langganan ini.."
"Coba Bud!" Amri meraih sedotan. Lalu menyeruputnya sampai habis. Amri menikmatinya dengan sangat.
"Wah, bener-bener enak. Bud, dimana kamu beli ini? Di tukang bajigur, apa tukang es oyen?"
"Tuh di sana..." Budi menunjuk sebuah SPBU.
A child miseducated is a child lost (John F Kennedy)
Minggu, 27 November 2011
Jarak
Mesiu bukan mesiu
Mercon tampil selalu
Tanggalkan jarak antar waktu
Demi dua jiwa yang tak bersatu
Kini, ombak memanggil kita
Menghadap pulau tempat muda bersua
Dan hal-hal lama kembali menyapa
Demi dua jiwa yang bermimpi bersama
Gembala tuntun kami pada ladang
Luas
Seluas cakrawala yang menendang
Batas
Tatkala kita mulai menyusun mimpi itu lagi
Ya, sekali lagi
Sebelum datang malaikat mati
Lari kita tak lagi berarti
Jarak memang
Kendala besar bagi mimpi
Memaksa kita masuk jurang
Lalu hilang tanpa permisi
Homesick. Cause i no longer know where home is ("Homesick" by King of Convenience)
Mercon tampil selalu
Tanggalkan jarak antar waktu
Demi dua jiwa yang tak bersatu
Kini, ombak memanggil kita
Menghadap pulau tempat muda bersua
Dan hal-hal lama kembali menyapa
Demi dua jiwa yang bermimpi bersama
Gembala tuntun kami pada ladang
Luas
Seluas cakrawala yang menendang
Batas
Tatkala kita mulai menyusun mimpi itu lagi
Ya, sekali lagi
Sebelum datang malaikat mati
Lari kita tak lagi berarti
Jarak memang
Kendala besar bagi mimpi
Memaksa kita masuk jurang
Lalu hilang tanpa permisi
Homesick. Cause i no longer know where home is ("Homesick" by King of Convenience)
Jumat, 25 November 2011
"Adi, tugasmu sudah selesai?" tanya Lanjar sambil memegang tumpukan buku yang baru dipinjam dari perpus.
Adi tersenyum,"Ngapain kamu pinjam buku sebanyak itu. Paling juga tidak sempat membaca"
"Nih..lihat. Tugasku sudah selesai" ujar Adi sambil menarikan jemarinya menekan tuts-tuts pada keyboard. Gerak mousenya cekatan. Kursornya selalu tepat menuju sasaran.
Suatu hari, Bu Rita, guru sejarah mereka hendak memberi surprise. Pagi ini ada ujian dadakan. Tapi sebelumnya, Bu Rita hendak mengecek kesiapan anak didiknya.
"Siapa penemu Amerika?" tanya Bu Rita sambil memperhatikan kesibukan anak muridnya di depan layar laptop.
"Christoper Columbus!" tak sampai satu detik mereka bisa menjawab serentak. Tanpa ada satu pun yang tidak tahu. Semua bahkan berlomba menjadi tercepat. Kalau bisa mengalahkan mobil formula one.
Sepuluh pertanyaan pembuka diberikan. Bahkan yang tersulit pun ada. Tapi hebatnya, semua siswa selalu sanggup menjawab dengan tepat dan tangkas.
Bu Rita takjub. "Wah, tahun depan, gelar guru teladan bisa jadi akan aku raih" ujarnya dalam hati. Bu Rita terlihat puas.
Ia segera membuka kertas ujian yang masih tersegel.
"Sekarang. Ibu kasih waktu 30 menit buat kalian untuk menyelesaikan 30 soal ujian ini" ujar Bu Rita sambil tertawa sinis. "Ibu ingin tahu. Apa kamu bisa menangkap apa yang telah Ibu ajarkan"
Semua anak disuruh mengumpulkan tas mereka di luar kelas. Biar tidak ada contek-menyontek atau membuka buku. Di atas meja hanya tinggal pulpen dan kertas ujian.
Setelah semua siap, ada sedikit kegaduhan. Wajah kekhawatiran tersingkap dari sebagian siswa. Tapi segera reda ketika kertas ujian sudah terbagi semua.
"Sekarang dikerjakan!" perinta Bu Rita.
Setengah jam berlalu. Bu Rita segera mengambil seluruh lembar jawaban. Lalu menghilang secepat angin. Ia ingin segera pulang ke rumah dan memeriksa lembar jawaban mereka.
Sesampainya di rumah, dengan lekas ia membuka lembar jawaban. Alangkah kagetnya ia, ketika didapati setiap siswa memiliki jawaban yang sama.
"1. Siapa penemu telepon?"
"www.google.co.id"
"2. Siapa penemu lampu?"
"www.google.co.id"
"3. Siapa penemu pesawat?"
"www.google.co.id"
The production of too many useful things results in too many useless people. (Karl Marx)
Adi tersenyum,"Ngapain kamu pinjam buku sebanyak itu. Paling juga tidak sempat membaca"
"Nih..lihat. Tugasku sudah selesai" ujar Adi sambil menarikan jemarinya menekan tuts-tuts pada keyboard. Gerak mousenya cekatan. Kursornya selalu tepat menuju sasaran.
Suatu hari, Bu Rita, guru sejarah mereka hendak memberi surprise. Pagi ini ada ujian dadakan. Tapi sebelumnya, Bu Rita hendak mengecek kesiapan anak didiknya.
"Siapa penemu Amerika?" tanya Bu Rita sambil memperhatikan kesibukan anak muridnya di depan layar laptop.
"Christoper Columbus!" tak sampai satu detik mereka bisa menjawab serentak. Tanpa ada satu pun yang tidak tahu. Semua bahkan berlomba menjadi tercepat. Kalau bisa mengalahkan mobil formula one.
Sepuluh pertanyaan pembuka diberikan. Bahkan yang tersulit pun ada. Tapi hebatnya, semua siswa selalu sanggup menjawab dengan tepat dan tangkas.
Bu Rita takjub. "Wah, tahun depan, gelar guru teladan bisa jadi akan aku raih" ujarnya dalam hati. Bu Rita terlihat puas.
Ia segera membuka kertas ujian yang masih tersegel.
"Sekarang. Ibu kasih waktu 30 menit buat kalian untuk menyelesaikan 30 soal ujian ini" ujar Bu Rita sambil tertawa sinis. "Ibu ingin tahu. Apa kamu bisa menangkap apa yang telah Ibu ajarkan"
Semua anak disuruh mengumpulkan tas mereka di luar kelas. Biar tidak ada contek-menyontek atau membuka buku. Di atas meja hanya tinggal pulpen dan kertas ujian.
Setelah semua siap, ada sedikit kegaduhan. Wajah kekhawatiran tersingkap dari sebagian siswa. Tapi segera reda ketika kertas ujian sudah terbagi semua.
"Sekarang dikerjakan!" perinta Bu Rita.
Setengah jam berlalu. Bu Rita segera mengambil seluruh lembar jawaban. Lalu menghilang secepat angin. Ia ingin segera pulang ke rumah dan memeriksa lembar jawaban mereka.
Sesampainya di rumah, dengan lekas ia membuka lembar jawaban. Alangkah kagetnya ia, ketika didapati setiap siswa memiliki jawaban yang sama.
"1. Siapa penemu telepon?"
"www.google.co.id"
"2. Siapa penemu lampu?"
"www.google.co.id"
"3. Siapa penemu pesawat?"
"www.google.co.id"
The production of too many useful things results in too many useless people. (Karl Marx)
Koruptor
"Apa semua sudah beres?"
"Sudah"
"Hakim?"
"Beres!"
"Gubernur?"
"Sudah!"
"Ketua DPRD?"
"Apalagi dia. Urusan gampang!"
"Baiklah. Kalau gitu kita lapor Bos"
Dua pria berbadan kekar ini menuju ruang sebelah. Di sana, ada seorang gemuk duduk di kursi malas didampingi seorang kerempeng yang masih terlihat muda, berdiri di sebelahnya.
"Bos, boleh saya masuk?"
"Iya. Silahkan!"
Mereka tak canggung masuk. Sang bos malah ramah. Dua gelas sirup disiapkan untuk mereka. "Ayo diminum".
"Bos. Semua sudah beres. Jadi, tidak ada lagi yang berani mengungkit-ungkit kasus bos. Aman!" ujar pria berperawakan cepak sambil menyeruput sirup.
"Kerja yang bagus! Mari kita bersulang!"
Sang bos membatasi lidahnya. Menahan dahaga. Sementara dua lelaki itu menghabiskan seisi gelas.
Lalu bos berdiri menghampiri ajudannya yang kerempeng itu. Mulutnya didekatkan pada telinga si kerempeng. "Apa tanah di semak-semak belakang gudang sudah kamu gali?"
Si kerempeng mengajak bos balik badan, membelakangi dua pria kekar tadi. "Ayah...Aku kira yang datang cuma satu orang. Ternyata dua ya. Semoga cukup deh!"
Three can keep a secret, if two of them are dead. (Benjamin Franklin)
"Sudah"
"Hakim?"
"Beres!"
"Gubernur?"
"Sudah!"
"Ketua DPRD?"
"Apalagi dia. Urusan gampang!"
"Baiklah. Kalau gitu kita lapor Bos"
Dua pria berbadan kekar ini menuju ruang sebelah. Di sana, ada seorang gemuk duduk di kursi malas didampingi seorang kerempeng yang masih terlihat muda, berdiri di sebelahnya.
"Bos, boleh saya masuk?"
"Iya. Silahkan!"
Mereka tak canggung masuk. Sang bos malah ramah. Dua gelas sirup disiapkan untuk mereka. "Ayo diminum".
"Bos. Semua sudah beres. Jadi, tidak ada lagi yang berani mengungkit-ungkit kasus bos. Aman!" ujar pria berperawakan cepak sambil menyeruput sirup.
"Kerja yang bagus! Mari kita bersulang!"
Sang bos membatasi lidahnya. Menahan dahaga. Sementara dua lelaki itu menghabiskan seisi gelas.
Lalu bos berdiri menghampiri ajudannya yang kerempeng itu. Mulutnya didekatkan pada telinga si kerempeng. "Apa tanah di semak-semak belakang gudang sudah kamu gali?"
Si kerempeng mengajak bos balik badan, membelakangi dua pria kekar tadi. "Ayah...Aku kira yang datang cuma satu orang. Ternyata dua ya. Semoga cukup deh!"
Three can keep a secret, if two of them are dead. (Benjamin Franklin)
Payung
Matahari terik. Tepat di atas ubun-ubun.
"Ngapain kamu bawa payung?" teman saya mengernyitkan dahi.
"Apa salahnya sedia payung sebelum hujan"
Tampak fatamorgana menari dari kejauhan. "Menurutmu hari ini hujan?"
"Seratus ribu untuk hujan. Lihat sebelah sana. Awan mendung menuju kemari"
"Kamu lupa kerongkonganmu yang kering itu?"
Kami duduk di sebuah cafe. Dahaga tak tertahankan lagi. Tiga gelas es kelapa muda habis tak bersisa. Lega.
Beberapa menit setelah nongkrong di kafe, memuaskan dahaga kami, kota yang kami tinggali mendapat kabar dari sebuah stasiun televisi.
"Sebuah bendungan jebol. Lokasi jauh di sudut kota. Sebuah cafe terhempas air bah sampai tak bersisa. Belum ada kabar mengenai korban tewas" tutur pembawa berita dengan tergesa-gesa.
"Demikian berita up date hari ini"
Climate is what we expect, weather is what we get. (Mark Twain)
"Ngapain kamu bawa payung?" teman saya mengernyitkan dahi.
"Apa salahnya sedia payung sebelum hujan"
Tampak fatamorgana menari dari kejauhan. "Menurutmu hari ini hujan?"
"Seratus ribu untuk hujan. Lihat sebelah sana. Awan mendung menuju kemari"
"Kamu lupa kerongkonganmu yang kering itu?"
Kami duduk di sebuah cafe. Dahaga tak tertahankan lagi. Tiga gelas es kelapa muda habis tak bersisa. Lega.
Beberapa menit setelah nongkrong di kafe, memuaskan dahaga kami, kota yang kami tinggali mendapat kabar dari sebuah stasiun televisi.
"Sebuah bendungan jebol. Lokasi jauh di sudut kota. Sebuah cafe terhempas air bah sampai tak bersisa. Belum ada kabar mengenai korban tewas" tutur pembawa berita dengan tergesa-gesa.
"Demikian berita up date hari ini"
Climate is what we expect, weather is what we get. (Mark Twain)
Mengalah
Tanah bengkok yang berhektar-hektar itu memang hak Tarjo setelah 40 tahun jadi lurah.
"Kek, tanah seluas ini buat apa?" tanya Tantri yang baru saja lulus SMA.
"Buat kamu, Cucuku"
"Kenapa tidak kakek jual buat pengobatan kakek"
"Buat apa Nak? Kakek sudah tua. Sudah waktunya"
Tarjo sudah terbiasa menjawab pertanyaan sejenis. Dulu, Amri, anak pertamanya yang sekarang bekerja di Jakarta, juga bertanya itu. Lina, anak keduanya yang bersuamikan direktur sebuah perusahaan besar itu, juga pernah. Dari kesepuluh anak dan hampir dua puluh cucunya, pernah bertanya hal yang sama. Tapi yang paling rajin, Sarinah, istrinya.
Sebulan kemudian, Tarjo masuk UGD. Darahnya tinggi. Di atas 250. Kata dokter, ini namanya stroke. Tapi, untungnya, Tarjo masih sadar.
"Pak, Bapak mau kan Amri kirim ke Singapura? Berobat di sana saja"
"Mmm, Ba, Ba, Bapak, nggak punya uang Mri..."
"Kan ada tanah bengkok Pak. Kita jual saja"
Tarjo menggeleng.
"Jangan, itu hartamu Nak"
Amri menuju ruang tunggu. Ia menemui keluarga besar dengan wajah tersungut. "Tidak ada jalan keluar" Amri menggeleng seakan-akan dokter sudah memvonis mati.
Tarjo akhirnya hanya menginap sehari saja di UGD.
Setelah acara yasin tujuh harinya, satu per satu anak serta cucu Mbah Tarjo datang lengkap ke rumah kediamannya yang paling megah di desanya.
Sarinah terlihat membagikan selembar kertas.
"Akhirnya kita dapat juga Pah" ujar Yani sambil memelototi angka 3000 meter persegi.
Amri tersenyum.
Don't forget to love yourself. (Soren Kierkegaard)
"Kek, tanah seluas ini buat apa?" tanya Tantri yang baru saja lulus SMA.
"Buat kamu, Cucuku"
"Kenapa tidak kakek jual buat pengobatan kakek"
"Buat apa Nak? Kakek sudah tua. Sudah waktunya"
Tarjo sudah terbiasa menjawab pertanyaan sejenis. Dulu, Amri, anak pertamanya yang sekarang bekerja di Jakarta, juga bertanya itu. Lina, anak keduanya yang bersuamikan direktur sebuah perusahaan besar itu, juga pernah. Dari kesepuluh anak dan hampir dua puluh cucunya, pernah bertanya hal yang sama. Tapi yang paling rajin, Sarinah, istrinya.
Sebulan kemudian, Tarjo masuk UGD. Darahnya tinggi. Di atas 250. Kata dokter, ini namanya stroke. Tapi, untungnya, Tarjo masih sadar.
"Pak, Bapak mau kan Amri kirim ke Singapura? Berobat di sana saja"
"Mmm, Ba, Ba, Bapak, nggak punya uang Mri..."
"Kan ada tanah bengkok Pak. Kita jual saja"
Tarjo menggeleng.
"Jangan, itu hartamu Nak"
Amri menuju ruang tunggu. Ia menemui keluarga besar dengan wajah tersungut. "Tidak ada jalan keluar" Amri menggeleng seakan-akan dokter sudah memvonis mati.
Tarjo akhirnya hanya menginap sehari saja di UGD.
Setelah acara yasin tujuh harinya, satu per satu anak serta cucu Mbah Tarjo datang lengkap ke rumah kediamannya yang paling megah di desanya.
Sarinah terlihat membagikan selembar kertas.
"Akhirnya kita dapat juga Pah" ujar Yani sambil memelototi angka 3000 meter persegi.
Amri tersenyum.
Don't forget to love yourself. (Soren Kierkegaard)
Doa
Saat seisi masjid bubar. Amin masih tetap pada posisi duduk semula. Tangannya tetap menengadah. Ribuan doa ia lantunkan berulang-ulang seperti kaset yang dibolak-balik.
"Ya Tuhanku. Berilah aku kemudahan rizki"
"Ya Tuhanku. Berilah aku kemudahan dalam mencari pekerjaan"
"Ya Tuhanku. Berilah aku kemudahan memperoleh jodoh"
Doa Amin sempat terhenti karena hujan deras turun dan petir menyambar-nyambar. Tapi kemudian berlanjut lagi,"Ya Tuhanku..." sambil Amin mengusap air matanya.
Sejam kemudian, petir tambah ramai. Listrik pun mati. Suasana gelap gulita. Amin terpaksa berhenti mengucap.
"Untung saja, tidak Aku perintahkan petir menyambar badanmu" desis suara dengan agak sedikit jengkel.
Do not pray for easy lives. Pray to be stronger men. (John F Kennedy)
"Ya Tuhanku. Berilah aku kemudahan rizki"
"Ya Tuhanku. Berilah aku kemudahan dalam mencari pekerjaan"
"Ya Tuhanku. Berilah aku kemudahan memperoleh jodoh"
Doa Amin sempat terhenti karena hujan deras turun dan petir menyambar-nyambar. Tapi kemudian berlanjut lagi,"Ya Tuhanku..." sambil Amin mengusap air matanya.
Sejam kemudian, petir tambah ramai. Listrik pun mati. Suasana gelap gulita. Amin terpaksa berhenti mengucap.
"Untung saja, tidak Aku perintahkan petir menyambar badanmu" desis suara dengan agak sedikit jengkel.
Do not pray for easy lives. Pray to be stronger men. (John F Kennedy)
Akrab
Derby El Classico, tinggal setengah jam lagi. Kedua kesebelasan telah bersiap di ruang ganti.
"Nanti" Mourinho memberi komando pada anak buahnya "Kita beri permainan terbuka pada Barcelona"
"Ramos?"
"Iya pak, saya di sini"
"Kalau Messi beratraksi. Kasih lewat saja ya"
"Baik Pak"
Mata Mourinho kembali liar.
"Alonso?"
"Iya Pak"
"Kalau Iniesta mau mengumpan jauh. Kamu jangan men-tackle. Biarkan saja"
"Oh, siap Pak!"
Bibir Mourinho terus maju seakan ingin mencari batang hidung anak buahnya yang lain untuk memberi perintah.
"Ronaldo?"
"Nggih Pak"
"Jangan terlalu agresif mencetak gol. Biasa saja"
"Oke Pak. Tenang saja"
Mourinho lalu meraih telepon genggamnya. Ia memencet beberapa nomor yang lumayan rumit untuk dihafal. Dengan raut ramah, Mou menyapa lawan bicaranya. "Gimana Pak. Sudah siap?"
"Oh, beres Pak. Semua bisa diatur." kata seorang pria di ujung telepon sambil menaruh peluit dan dua kartu berwarna ke kantongnya.
The best way to destroy an enemy is to make him a friend (Abraham Lincoln)
"Nanti" Mourinho memberi komando pada anak buahnya "Kita beri permainan terbuka pada Barcelona"
"Ramos?"
"Iya pak, saya di sini"
"Kalau Messi beratraksi. Kasih lewat saja ya"
"Baik Pak"
Mata Mourinho kembali liar.
"Alonso?"
"Iya Pak"
"Kalau Iniesta mau mengumpan jauh. Kamu jangan men-tackle. Biarkan saja"
"Oh, siap Pak!"
Bibir Mourinho terus maju seakan ingin mencari batang hidung anak buahnya yang lain untuk memberi perintah.
"Ronaldo?"
"Nggih Pak"
"Jangan terlalu agresif mencetak gol. Biasa saja"
"Oke Pak. Tenang saja"
Mourinho lalu meraih telepon genggamnya. Ia memencet beberapa nomor yang lumayan rumit untuk dihafal. Dengan raut ramah, Mou menyapa lawan bicaranya. "Gimana Pak. Sudah siap?"
"Oh, beres Pak. Semua bisa diatur." kata seorang pria di ujung telepon sambil menaruh peluit dan dua kartu berwarna ke kantongnya.
The best way to destroy an enemy is to make him a friend (Abraham Lincoln)
Korban
Budiman tetap tegar meski di hadapannya sekarang ada sepuluh penembak jitu dengan senapan terkokang.
"Ada pesan terakhir?" ujar seorang sipir sambil membenahi penutup mata Budiman.
"Yakin, tidak ada...?"
"Baiklah...kalau tidak ada"
Sang sipir meneriakan komando pada regu tembak "Satu, dua, tiga..."
Budiman gontai. Ambruk ke tanah. Tak bernyawa.
Regu tembak segera mengerubungi jasad pejuang kemerdekaan yang terkenal cerdik ini. Mereka lalu melucuti borgol di tangan, rantai di kaki, sumpal di mulut dan terutama sebuah paku yang terpalu di dahinya.
"A man who won't die for something is not fit to live." (Martin Luther King Jr)
"Ada pesan terakhir?" ujar seorang sipir sambil membenahi penutup mata Budiman.
"Yakin, tidak ada...?"
"Baiklah...kalau tidak ada"
Sang sipir meneriakan komando pada regu tembak "Satu, dua, tiga..."
Budiman gontai. Ambruk ke tanah. Tak bernyawa.
Regu tembak segera mengerubungi jasad pejuang kemerdekaan yang terkenal cerdik ini. Mereka lalu melucuti borgol di tangan, rantai di kaki, sumpal di mulut dan terutama sebuah paku yang terpalu di dahinya.
"A man who won't die for something is not fit to live." (Martin Luther King Jr)
Terang
"Siapa yang sebenarnya menghamili ibumu sehingga melahirkan kamu Nak?" tanya seorang pria di tengah kerumunan yang dipenuhi rasa penasaran. Sepertinya warga ingin mengulang kisah Nabi Isa.
Mendengar desis suara, sang bayi malah lantas tertawa manis yang membuat para ibu semakin gemas ingin memilikinya.
"Kenapa kamu cuma tertawa?" tanya pria itu sambil melempar senyum simpatik. Lalu mengelus-elus kepalanya. Penuh rasa sayang.
"Ayolah Nak. Bukalah tabir misteri ini"
Kemudian sang bayi mengangkat jarinya pelan-pelan. Warga menahan kedipannya. Semua mata tertuju pada jari bayi itu.
Tanganya terus berputar. Secara acak mengarahkan jemarinya.
Semua orang takut. Jangan-jangan mereka jadi tertuduh. Dan resikonya adalah pancung.
Tapi putaran tangan itu berhenti. Warga lega. Lalu sang bayi dengan tenang menaruh tangannya di atas kepala. Sambil meminjam telunjuk lelaki yang menggendong, ia menunjuk dirinya sendiri.
"An honest man is always a child" (Socrates)
Mendengar desis suara, sang bayi malah lantas tertawa manis yang membuat para ibu semakin gemas ingin memilikinya.
"Kenapa kamu cuma tertawa?" tanya pria itu sambil melempar senyum simpatik. Lalu mengelus-elus kepalanya. Penuh rasa sayang.
"Ayolah Nak. Bukalah tabir misteri ini"
Kemudian sang bayi mengangkat jarinya pelan-pelan. Warga menahan kedipannya. Semua mata tertuju pada jari bayi itu.
Tanganya terus berputar. Secara acak mengarahkan jemarinya.
Semua orang takut. Jangan-jangan mereka jadi tertuduh. Dan resikonya adalah pancung.
Tapi putaran tangan itu berhenti. Warga lega. Lalu sang bayi dengan tenang menaruh tangannya di atas kepala. Sambil meminjam telunjuk lelaki yang menggendong, ia menunjuk dirinya sendiri.
"An honest man is always a child" (Socrates)
Act Now!
Tuhan pernah berkata, kalau tobat bisa diterima kapanpun. Bahkan sampai nafas hanya sisa di tenggorokan.
"Kalo begitu, kita bebas dong" kata Adi sambil terus menenggak vodka.
"Tapi" Sobri menyela sambil menghadang laju mulut botol yang selalu siap menerkam mulut Adi "Kita kan gak tau kapan kita mati"
Adi tertawa. Lebih tepatnya terbahak-bahak. Mengejek maksudnya. "Ahhh..gimana sih kamu Bri. Kita kan masih muda. Cobalah berpikir. Umur kita panjang. Waktu tobat masih ada. Tenang saja"
Tidak sampai semenit kemudian, udara kencang menghembus. Daun-daun berguguran. Debu-debu berterbangan. Berbarengan dengan itu, sayup-sayup suara terompet menggema.
Israfil berkata lewat mikropon,"Check sound...check sound...".
"Change your life today. Don't gamble on the future, act now, without delay." (Simone De Beauvoir)
Kamis, 24 November 2011
Fatalis
"Berapa harga dirimu?"
"Murah"
"Ya, murah itu berapa?"
"Pokoknya lebih murah dari harga permen. Itupun kalau tidak inflasi"
"Kamu kan sarjana! Mengapa mau bekerja dengan debu-debu jalanan. Apa keringatmu sudah tak berharga lagi?"
"Kan, sudah aku bilang. Aku tak punya harga diri lagi. Buat apa aku harus membela diri"
"Lho, bagaimana kamu ini. Setiap orang ingin hidup mewah. Hidup sejahtera. Punya segalanya. Tapi kamu malah bersusah-payah. Padahal kamu bisa meraih itu semua. Kalau kamu mau"
"Ya, itu kan orang lain. Aku punya jalan hidup sendiri"
"Hey bung. Lihat badanmu ini. Ringkih. Kumuh. Tak sedap sekali dipandang. Lihat seisi keluargamu. Aku bahkan ragu, kalau kamu bagian dari mereka"
"Aku juga ragu kalau kamu itu sahabatku"
"Lho kenapa?"
"Aku kira kamu bisa terima keadaanku apa adanya. Tapi ternyata..."
"Justru aku berkomentar karena aku sayang dengan kehidupanmu. Itulah teman! Aku ingin punya sahabat yang terus berbahagia. Bukan kamu. Yang terus memasang tampang merengut"
"Dimana kamu selama ini? Aku bahagia kok dengan keadaanku sekarang"
"..."
Pilihan hidup adalah hak prerogatif seseorang. Pilihan itu bisa berarti kemerdekaan. Bisa berarti kebodohan. Tergantung, jalan apa yang kita pilih.
"Murah"
"Ya, murah itu berapa?"
"Pokoknya lebih murah dari harga permen. Itupun kalau tidak inflasi"
"Kamu kan sarjana! Mengapa mau bekerja dengan debu-debu jalanan. Apa keringatmu sudah tak berharga lagi?"
"Kan, sudah aku bilang. Aku tak punya harga diri lagi. Buat apa aku harus membela diri"
"Lho, bagaimana kamu ini. Setiap orang ingin hidup mewah. Hidup sejahtera. Punya segalanya. Tapi kamu malah bersusah-payah. Padahal kamu bisa meraih itu semua. Kalau kamu mau"
"Ya, itu kan orang lain. Aku punya jalan hidup sendiri"
"Hey bung. Lihat badanmu ini. Ringkih. Kumuh. Tak sedap sekali dipandang. Lihat seisi keluargamu. Aku bahkan ragu, kalau kamu bagian dari mereka"
"Aku juga ragu kalau kamu itu sahabatku"
"Lho kenapa?"
"Aku kira kamu bisa terima keadaanku apa adanya. Tapi ternyata..."
"Justru aku berkomentar karena aku sayang dengan kehidupanmu. Itulah teman! Aku ingin punya sahabat yang terus berbahagia. Bukan kamu. Yang terus memasang tampang merengut"
"Dimana kamu selama ini? Aku bahagia kok dengan keadaanku sekarang"
"..."
Pilihan hidup adalah hak prerogatif seseorang. Pilihan itu bisa berarti kemerdekaan. Bisa berarti kebodohan. Tergantung, jalan apa yang kita pilih.
Minggu, 20 November 2011
Hari Peradilan
Don, aku tahu kamu menungguku sekarang. Aku tahu juga kalau kamu tidak mau kehilanganku. Benar kan? Ayolah, mengaku saja. Jangan cuma tersipu. Gigimu kering lho nanti.
Don, kamu masih ingat, kapan pertama kali kita ketemu? Memang baru sih. Tapi karena baru itu, kesannya jadi begitu membekas. Aku merasa, kehadiranmu mengisi kekosongan hatiku. Ya, memang sih, hatiku itu sudah seperti batu. Keras nan sulit ditembus.
Tiap malam, aku jadi berpikir tentangmu. Wajahmu terngiang selalu. Tentang cita-cita kita. Yang mungkin sebentar lagi akan terkubur. Di kedalaman malam. Bersama harapan yang lekas sekali tenggelam.
Kini, aku hendak mengucap kata perpisahan. Aku tahu ini sulit. Aku tahu ini berat. Dan aku tahu, pasti kamu tak terima. Tapi beginilah waktu mengadili. Ia hanya tahu, kapan. Tanpa perlu bertanya apa. Sedangkan, perasaan itu butuh basa-basi. Butuh ditanyai. Terutama dengan tanya,"Apa kamu siap?".
Hatiku hendak berkata "tidak". Tapi aku tahan tuas gas di mulutnya. Terpaksa kusekap. Gantian, akalku menolak. Kubanting sampai pecah. Ia menyerah, keluar nanah, dan bersimbah darah. Ketika jantungku ingin berontak. Aku terpaksa layangkan kapak. Dan kini, ia berhenti berdetak.
Di antara seluruh ragaku, sebenarnya, tiada yang bermufakat. Semuanya, bahkan, beroposisi. Tapi, aku harus rasional. Tanpa putusan ini, toh aku mati-mati juga. We have no other alternative my dear.
Aku mengucap rasa terima kasih, atas segala atensimu. Atas semua rantang yang kamu kirim rajin-rajin di setiap pagi. Dan atas seluruh bulir air mata yang kamu beberkan di kelopak mataku. Rasanya, air mata itu yang tertinggal selalu, ketika jadwal besukmu habis dan kau pergi meninggalkanku.
Aku rasa semua itu cukup. Bahkan lebih dari cukup. Dan hal itu mampu menjawab kebimbanganku, tentang "apakah kamu masih setia denganku?". Ya, kau pun menjawabnya dengan anggun. Dan keanggunan itulah yang membuat aku sanggup bersabar hingga kini.
***
Di hari pengadilanku, kamu datang ya...
Meski aku tahu, kamu tak bisa bersaksi. Meski aku tahu, kehadiranmu tanpa arti, tanpa interupsi. Bahkan, meski aku tahu, kamu belum tentu diperbolehkan hadir. Tapi, cukuplah bagiku fotomu di kamarku yang aku pandangi seharian sebelum eksekusi dini hari nanti.
Ingat Don. Jangan pernah kau anggap aku pesakitan. Jangan pernah kau anggap aku, kriminil. Mayat yang sepantasnya mati.
Besok, sebelum fajar, aku akan mati sebagai pahlawan. Meski yang mengalahkanku bukanlah pedang atau peluru. Cuma segenggam cairan bius. Tapi, aku yakin, rakyat menyambut jasadku, besok pagi, dengan gigap gempita!
*catatan yang ditulis di depan eksekutor.
Don, kamu masih ingat, kapan pertama kali kita ketemu? Memang baru sih. Tapi karena baru itu, kesannya jadi begitu membekas. Aku merasa, kehadiranmu mengisi kekosongan hatiku. Ya, memang sih, hatiku itu sudah seperti batu. Keras nan sulit ditembus.
Tiap malam, aku jadi berpikir tentangmu. Wajahmu terngiang selalu. Tentang cita-cita kita. Yang mungkin sebentar lagi akan terkubur. Di kedalaman malam. Bersama harapan yang lekas sekali tenggelam.
Kini, aku hendak mengucap kata perpisahan. Aku tahu ini sulit. Aku tahu ini berat. Dan aku tahu, pasti kamu tak terima. Tapi beginilah waktu mengadili. Ia hanya tahu, kapan. Tanpa perlu bertanya apa. Sedangkan, perasaan itu butuh basa-basi. Butuh ditanyai. Terutama dengan tanya,"Apa kamu siap?".
Hatiku hendak berkata "tidak". Tapi aku tahan tuas gas di mulutnya. Terpaksa kusekap. Gantian, akalku menolak. Kubanting sampai pecah. Ia menyerah, keluar nanah, dan bersimbah darah. Ketika jantungku ingin berontak. Aku terpaksa layangkan kapak. Dan kini, ia berhenti berdetak.
Di antara seluruh ragaku, sebenarnya, tiada yang bermufakat. Semuanya, bahkan, beroposisi. Tapi, aku harus rasional. Tanpa putusan ini, toh aku mati-mati juga. We have no other alternative my dear.
Aku mengucap rasa terima kasih, atas segala atensimu. Atas semua rantang yang kamu kirim rajin-rajin di setiap pagi. Dan atas seluruh bulir air mata yang kamu beberkan di kelopak mataku. Rasanya, air mata itu yang tertinggal selalu, ketika jadwal besukmu habis dan kau pergi meninggalkanku.
Aku rasa semua itu cukup. Bahkan lebih dari cukup. Dan hal itu mampu menjawab kebimbanganku, tentang "apakah kamu masih setia denganku?". Ya, kau pun menjawabnya dengan anggun. Dan keanggunan itulah yang membuat aku sanggup bersabar hingga kini.
***
Di hari pengadilanku, kamu datang ya...
Meski aku tahu, kamu tak bisa bersaksi. Meski aku tahu, kehadiranmu tanpa arti, tanpa interupsi. Bahkan, meski aku tahu, kamu belum tentu diperbolehkan hadir. Tapi, cukuplah bagiku fotomu di kamarku yang aku pandangi seharian sebelum eksekusi dini hari nanti.
Ingat Don. Jangan pernah kau anggap aku pesakitan. Jangan pernah kau anggap aku, kriminil. Mayat yang sepantasnya mati.
Besok, sebelum fajar, aku akan mati sebagai pahlawan. Meski yang mengalahkanku bukanlah pedang atau peluru. Cuma segenggam cairan bius. Tapi, aku yakin, rakyat menyambut jasadku, besok pagi, dengan gigap gempita!
*catatan yang ditulis di depan eksekutor.
Sabtu, 19 November 2011
2 PM; Puts Your Hands Up!
Hari ini, aku heran. Perasaan pola makan normal. Menu makan juga normal. Tapi kenapa seharian ini aku putar lagu 2PM yang Hands Up berkali-kali.
"Habis enak sih..."
Ups, keceplosan.
Hmm, pasti gua lagi kerasukan setan dari Korea!
Setannn....!
Anyonghaseo...!
Kepalalo gua bikin keseleo!
*Ya Allah, Ya Tuhanku. Kembalikanlah aku ke jalan-Mu yang lurus...
:)
"Habis enak sih..."
Ups, keceplosan.
Hmm, pasti gua lagi kerasukan setan dari Korea!
Setannn....!
Anyonghaseo...!
Kepalalo gua bikin keseleo!
*Ya Allah, Ya Tuhanku. Kembalikanlah aku ke jalan-Mu yang lurus...
:)
Jumat, 18 November 2011
Marhaenism
Sebenarnya sudah lama aku tuntas membaca buku karya Achmad Suhawi. Cuma baru-baru ini aku baca lagi buku itu. Judulnya: Gimnastik Politik Nasionalis Radikal. Buku itu berkisah banyak tentang sejarah kaum nasionalis, tapi kemudian lebih difokuskan kepada perjuangan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Aku hendak cerita tentang Marhaenism. Sebuah ideologi anak negeri. Sebuah pemahaman dari rahim pikiran anak negeri pula. Bung Karno adalah pencipta, pendiri sekaligus "nabi" bagi rakyat Marhaen.
Dulu di masa tahun 1950-1965, Marhaenis sempat meraih popularitas tertinggi di kalangan mahasiswa. Namun akibat Gestapu -meski mereka tidak tersangkut secara langsung- mereka turut tergulung kaum oposisi yang sebelumnya selalu merunduk menghindari perang terbuka.
Di sini, mari kita lihat, apa itu Marhaenisme. Kalau Bung Karno bilang,"Marhaenisme adalah Marxisme yang dipraktikan di Indonesia,". Jadi, Marhaenisme itu, Marxisme dengan cita rasa Indonesia. Ibarat vodka dicampur tuak batak sama arak jowo.
Marhaen, bagiku, sebuah ideologi campur aduk. Sinkretisme sempurna. Percampuran pergulatan pemikiran Bung Karno yang telah dilaluinya bertahun-tahun. Dari falsafah Hindu kuno, sampai pada teori kebebasan ala Jefferson.
Marhaen, bagi kawan-kawan Marxis, tidak lebih sebagai borjuis kecil. Kalau kata Mao: "Kaum revisionis". Kaum yang bernasib seperti Liu Shaoqi, mantan orang kedua Partai Komunis Cina, yang kemudian "hampir" digantung di depan pengadilan rakyat.
Artinya, Marhaenisme kehilangan orisinalitas. Sinkretisnya terlalu naif. Terlalu menunjukkan bahwa Bung karno tidak punya perspektif baru. Jikalau mau mengaku "kiri", ya bilang saja saya "Marxis". Tak perlu ciptakan madzhab baru.
Dan benar saja. Marhaenisme digulung bersama dengan Marxisme. Sementara, ketika pembubaran Partai Sosialis Indonesia yang sebenarnya juga kiri, kaum komunis bertepuk tangan. Kaum marhenis yang katanya menghargai prinsip demokrasi, tidaklah mungkin menyambut tepuk tangan kaum komunis. Kaum yang menghendaki tegaknya diktatorisme proletariat. Jadi, marhaen tidak lebih seperti ekor bagi kaum komunis. Mereka kehilangan jati diri.
Aku kehilangan simpati terhadap Marhaenisme yang menurutku seharusnya bisa mengambil jatah besar dalam percaturan ideologi dunia. Tapi berhubung, konsepsinya bukanlah yang orisinil dan menghendaki jalan baru yang berani melawan tegas-tegas hal-hal yang berseberangan, maka mereka tidak lebih dari pengekor ideologi terkenal lain.
Marhaenisme akan hanya jadi retorika bagi banteng berlatar merah. Yang katanya pro rakyat miskin, tapi mobil mereka menumpuk, mewah-mewah. Yang katanya benci sekali dengan feodalisme, tapi diam-diam menyiapkan kerajaan partai dimana bapak, ibu, anak, dan cucu-cucunya menjadikan partai seperti arisan keluarga.
Ani dan Akhir Cerita Leukimia
Mengapa harus ada penyakit bernama Leukimia? Alangkah teganya Tuhan itu. Mengapa tidak sekalian saja, ruh itu tidak ditiupkan di dalam rahim manusia, bila nantinya akan mati juga?
Bukan Ani yang bicara begitu. Ani masih terlalu kecil untuk berpikir. Bahkan untuk mengucap kata "Leukimia" itu sendiri saja, Ani tergagap-gagap. "Lukima," begitu kata Ani.
Marsinah-lah yang memendam rasa itu. Ibunda Ani ini yang selalu bertanya dalam hati,"Kalau saja...keguguran di bulan kelima itu, setelah aku terjatuh dari motor, benar-benar terjadi, toh hasilnya tidak akan seperti ini,".
Kini, Marsinah berjuang sendiri. Priyanto, suaminya, mati duluan. Dahulu mereka masih bisa bahu membahu membagi kesedihan. Tapi sejak tiadanya Priyanto, Marsinah mesti menanggung sendiri. Dia-lah yang merawat Ani dengan sabar. Mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Sampai mengais nafkah dengan kedua telapak tangannya yang semakin lemah itu. Marsinah frustasi.
Di balik alisnya yang mengerut dan tatapan matanya yang kosong, ia menerbangkan sendok berisi bubur ke mulut Ani. "Nyaaaammmm,". Ani paling suka adegan ini.
"Lagi Bu, lagi...,"
Ibu Ani tetap kosong. Tanpa ekspresi. Tanpa antusiasme. Sendok itu terbang tanpa diiringi senyuman. Sebagaimana seharusnya seorang Ibu ketika sedang menyuapi anaknya. Mulut calon gadis itu menganga, mengikuti kemana terbangnya.
Marsinah memandangi putrinya yang berkulit putih halus nan bersih, pipi tembem serta merasuki bulat matanya yang bersinar. Ani memang menggemaskan. Banyak tetangga mimpi memiliki anak seperti Ani. Tapi mengundurkan diri dari mimpi. Hanya karena sebuah penyakit.
Ani belum tahu, penyakit itu yang akan menghabisi hidupnya. Sebentar lagi. Ya, hanya menghitung hari. Prediksi dokter sepuluh hari lagi. Ketika rambutnya makin rontok, tubuhnya makin lemas, digerogoti medical treatment yang menyumpal mulutnya, ajal akan menghampiri. Cepat atau lambat.
"Ani...Ibu keluar dulu ya,"
"Jangan lama-lama ya Bu," ujar Ani dari pembaringannya yang sudah berlangsung sembilan hari di ICU itu.
"Ibu ingin ke toilet, Nak"
***
"Apa ini hari terakhirku bersama buah hatiku Ya Tuhanku?"
Marsinah menangis dibalik hijabnya. Ruku putih bersih menyelimuti, wajahnya menunduk, serta tangannya menengadah tinggi-tinggi.
Di sebuah sudut rumah ibadah di pojok rumah sakit, penyerahan diri Marsinah diberikan cuma-cuma. Tersungut hatinya sampai nafas ia ambil setengah-setengah. Isaknya terlalu dalam, jantungnya sempat mogok berdetak.
"Bu...kenapa menangis?" suara lembut datang menyisir telinga Marsinah.
"Anak saya sudah dirawat sepuluh hari di ICU, tapi tak kunjung selesai,"
"Sakit apa Bu..."
Marsinah diam. Menunggu semenit untuk kemudian membuka katup mulutnya.
"Leukimia...Bu,"
"Oh...," ujarnya.
Marsinah keheranan. Kenapa cuma "Oh". Apa Ibu ini tidak punya simpati. Apa memang manusia tidak lagi dihinggapi nurani. Kenapa cuma "Oh"? Padahal besok, menurut hitung-hitungan dokter, adalah hari kematian Ani.
"Anak pertama saya seminggu lalu meninggal di sini. Dan hari ini saya harus menyaksikan anak kedua berbaring di kamar yang sama, di pembaringan yang sama,".
Marsinah terperanjat.
"Anak Ibu sakit apa?"
"Sama seperti anak Ibu,"
"Bagaimana tidak sedih. Anak saya lagi lucu-lucunya bermain dengan saya. Umurnya masih 7 tahun. Ia menggemaskan. Tapi kenapa tuhan rela memanggil secepat itu," Marsinah membiarkan mulutnya berkata panjang-lebar, melepaskan penat yang selama ini menimbun mentalnya.
Sang Ibu membalas dengan senyum ironis. "Pertanyaan saya sama dengan pertanyaan Ibu,"
Marsinah makin bingung. Mengapa ada Ibu setegar ini. Padahal ia juga punya kasus yang sama dengan saya. Tapi...tapi...tapi...
"Kenapa Ibu bisa tenang begini...," tanya Marsinah.
"Karena saya yakin. Tuhan punya maksud baik. Lagipula, anak saya ini sebenarnya bukan milik saya. Dia ya kan memang milik Sang Penciptanya."
Tiba-tiba ada suara sayup beteriak memanggil nama Marsinah. Bu Andri, tetangga Marsinah yang sejak dua hari lalu menemani Marsinah, datang tergopoh-gopoh ke masjid. Marsinah melihat mata Bu Andri diusap memakai jilbab yang teruntai.
Sambil terisak Bu Andri terbata-bata bicara,"Bu, Bu, Ani, Bu...Ani!"
Marsinah langsung pingsan.
Kamis, 17 November 2011
Dua Kata
Aku tidur. Tidur lelap. Tanpa jeda. Tanpa tanda. Bangun kapanpun. Hidup seeenaknya. Peduli setan. Tentang kesejahteraan. Yang aneh. Yang diburu. Tapi khilaf. Menepuk angin. Menginjak bayangan. Kepercumaan saja.
Aku pergi. Pergi rantau. Tanpa bekal. Apalagi permisi. Bajingan tengik. Durhaka durjana. Yang hilang. Muncul lagi. Terus hilang. Lalu pergi. Tak berhenti. Mengolok kebenaran. Mengangkangi kepatutan. Melanggar kebiasaan.
Aku lari. Sempat lelah. Namun terhapus. Berlari lagi. Mengejar kenyataan. Yang mengejek. Meski nihil. Tanpa harapan. Minimal kecerahan. Menguap juga. Dari bejana. Bejana hitam. Yang kelam. Dari luar. Tapi bersih. Lubuk hatinya.
Aku terbang. Lepas landas. Dari tanah. Yang bosan. Melawan kezhaliman. Dengan nyawa. Dari pergadaian. Sempat menawan. Tapi tertawan. Penjara tiran.
Aku mati. Tersisa Gigi. Gemertak garang. Bicara keadilan. Yang nyata. Bukan buatan. Serta Kebodohan. Dibuat-buat. Hingga senyap. Dari pelupuk.
Aku pergi. Pergi rantau. Tanpa bekal. Apalagi permisi. Bajingan tengik. Durhaka durjana. Yang hilang. Muncul lagi. Terus hilang. Lalu pergi. Tak berhenti. Mengolok kebenaran. Mengangkangi kepatutan. Melanggar kebiasaan.
Aku lari. Sempat lelah. Namun terhapus. Berlari lagi. Mengejar kenyataan. Yang mengejek. Meski nihil. Tanpa harapan. Minimal kecerahan. Menguap juga. Dari bejana. Bejana hitam. Yang kelam. Dari luar. Tapi bersih. Lubuk hatinya.
Aku terbang. Lepas landas. Dari tanah. Yang bosan. Melawan kezhaliman. Dengan nyawa. Dari pergadaian. Sempat menawan. Tapi tertawan. Penjara tiran.
Aku mati. Tersisa Gigi. Gemertak garang. Bicara keadilan. Yang nyata. Bukan buatan. Serta Kebodohan. Dibuat-buat. Hingga senyap. Dari pelupuk.
Stasiun Pertemuan
Aku menggandeng tangan ayah. Genggaman memenuhi telapak tanganku dengan erat. Saat itu, aku masih berumur 7 tahun. Sedari seminggu lalu, ayah bikin janji. "Nak, Ayah akan ajak kamu ke sebuah tempat nan indah."
Aku mendongak girang. Senyumku lepas. Gigiku yang putih bersih, terkibas angin kebahagiaan tiada taranya. Aku melompat. Lalu menghampiri Ibu. Ia pun membalas pelukanku dengan mesra. Berbisik kepadaku,"Kamu pasti akan suka!".
Semakin membumbunglah bayangan indah itu. Memabukanku dalam lamunan, sehingga selama sepekan penantian, tak henti-hentinya aku mengumbar senyum. Maklum, rekreasi adalah hal yang paling dirindukan anak-anak.
Hari itu pun tiba. Ayah sudah necis sejak pagi. Sedang aku? Baru saja tergugah, setelah cukup lama Ibu menggoyang-goyang tanganku. Sepertinya Ibu kesulitan membangunkanku. Tadi malam, aku meloncat-loncat gembira dari satu sofa ke sofa lain. Lumayan melelahkan.
Sekejap, badanku harum dan pakaianku bersih. Ibu memanggulkan sebuah tas di pundakku. Isinya hanya sebuah kamera kecil dan air minum. Ibu berpesan,"jangan lupa foto-foto ya, buat kenangan.". Aku sekedar mengangguk.
Sepeda motor tua Ayah mengantar kami pergi. Melintasi gunung, padang rumput, sawah, kemudian berhenti di sebuah keramaian. Aku baru tahu, tempat keramaian itu bernama alun-alun. Aku berbisik dalam hati,"Oh, mungkin ini,". Soalnya, aku dengar banyak tawa anak-anak. Tawa yang terbit dari jungkat-jungkit, ceria yang menggema dari kolam mandi bola, serta riang yang melang-lang dari pertunjukan yang tenang.
Tapi, langkah ternyata berlanjut. Di sebuah gedung tinggi, aku sempat membaca huruf yang terpasang besar-besar: "SETASIUN". Ada pula keramaian di sana. Hanya saja, minus tawa anak-anak.
Aku menarik baju Ayah,"Ayah, Ayah, kita mau kemana?". "Pergi" jawab Ayah singkat. "Kemana Ayah?". "Ke tempat yang indah". Ayah tak beritahu dengan jelas. Aku menebak. Apa memang, tempat itu istana boneka seperti yang aku lihat di film kartun? Ah...sepertinya tidak mungkin.
Ayah kemudian duduk di tangga pintu masuk. Ia tak beli tiket. Bahkan tak sekalipun berniat melirik loket. Apalagi melihat kereta berseliweran. Aku pun meniru Ayah. Duduk manis.
Tiba-tiba Ayah memandangku syahdu. Rambutku dibelainya. Badanku direkatkannya. Keningku sempat diciumnya. "Kamu tahu Nak. Stasiun inilah yang mempertemukan kita,".
Aku bingung. "Apa maksud Ayah?". Dalam kebingungan yang membeku, ia hanya membalas dengan senyum. Lalu tatapannya hilang sekejap. Ia memandang jauh ke seberang jalan. Seperti sedang memperhatikan setiap detail hiruk pikuk.
Setengah jam di sana, tanpa banyak basa-basi, akhirnya kami pulang. Tetap dengan motor tua yang suaranya bising itu. Dan aku pun tersadar, istana boneka yang aku bayangkan tidaklah kesampaian. Indah bagi Ayah dan Ibu cukup aneh bagiku. Aku tak tahu apa maksudnya.
Sampai di rumah, aku menuju kamar. Dari balik pintu kamar, aku dengar Ayah bicara dengan Ibu, setengah berbisik,"Kelak dewasa, semoga anak itu tahu tentang stasiun pertemuan kita,". Mereka menjalin peluk hangat. Dari lubang kunci akhirnya aku tahu, air mata Ibu sempat jatuh ke pundak ayah.
Aku mendongak girang. Senyumku lepas. Gigiku yang putih bersih, terkibas angin kebahagiaan tiada taranya. Aku melompat. Lalu menghampiri Ibu. Ia pun membalas pelukanku dengan mesra. Berbisik kepadaku,"Kamu pasti akan suka!".
Semakin membumbunglah bayangan indah itu. Memabukanku dalam lamunan, sehingga selama sepekan penantian, tak henti-hentinya aku mengumbar senyum. Maklum, rekreasi adalah hal yang paling dirindukan anak-anak.
Hari itu pun tiba. Ayah sudah necis sejak pagi. Sedang aku? Baru saja tergugah, setelah cukup lama Ibu menggoyang-goyang tanganku. Sepertinya Ibu kesulitan membangunkanku. Tadi malam, aku meloncat-loncat gembira dari satu sofa ke sofa lain. Lumayan melelahkan.
Sekejap, badanku harum dan pakaianku bersih. Ibu memanggulkan sebuah tas di pundakku. Isinya hanya sebuah kamera kecil dan air minum. Ibu berpesan,"jangan lupa foto-foto ya, buat kenangan.". Aku sekedar mengangguk.
Sepeda motor tua Ayah mengantar kami pergi. Melintasi gunung, padang rumput, sawah, kemudian berhenti di sebuah keramaian. Aku baru tahu, tempat keramaian itu bernama alun-alun. Aku berbisik dalam hati,"Oh, mungkin ini,". Soalnya, aku dengar banyak tawa anak-anak. Tawa yang terbit dari jungkat-jungkit, ceria yang menggema dari kolam mandi bola, serta riang yang melang-lang dari pertunjukan yang tenang.
Tapi, langkah ternyata berlanjut. Di sebuah gedung tinggi, aku sempat membaca huruf yang terpasang besar-besar: "SETASIUN". Ada pula keramaian di sana. Hanya saja, minus tawa anak-anak.
Aku menarik baju Ayah,"Ayah, Ayah, kita mau kemana?". "Pergi" jawab Ayah singkat. "Kemana Ayah?". "Ke tempat yang indah". Ayah tak beritahu dengan jelas. Aku menebak. Apa memang, tempat itu istana boneka seperti yang aku lihat di film kartun? Ah...sepertinya tidak mungkin.
Ayah kemudian duduk di tangga pintu masuk. Ia tak beli tiket. Bahkan tak sekalipun berniat melirik loket. Apalagi melihat kereta berseliweran. Aku pun meniru Ayah. Duduk manis.
Tiba-tiba Ayah memandangku syahdu. Rambutku dibelainya. Badanku direkatkannya. Keningku sempat diciumnya. "Kamu tahu Nak. Stasiun inilah yang mempertemukan kita,".
Aku bingung. "Apa maksud Ayah?". Dalam kebingungan yang membeku, ia hanya membalas dengan senyum. Lalu tatapannya hilang sekejap. Ia memandang jauh ke seberang jalan. Seperti sedang memperhatikan setiap detail hiruk pikuk.
Setengah jam di sana, tanpa banyak basa-basi, akhirnya kami pulang. Tetap dengan motor tua yang suaranya bising itu. Dan aku pun tersadar, istana boneka yang aku bayangkan tidaklah kesampaian. Indah bagi Ayah dan Ibu cukup aneh bagiku. Aku tak tahu apa maksudnya.
Sampai di rumah, aku menuju kamar. Dari balik pintu kamar, aku dengar Ayah bicara dengan Ibu, setengah berbisik,"Kelak dewasa, semoga anak itu tahu tentang stasiun pertemuan kita,". Mereka menjalin peluk hangat. Dari lubang kunci akhirnya aku tahu, air mata Ibu sempat jatuh ke pundak ayah.
Mengenang
Hampir setahun kami bergerilya. Keluar-masuk hutan. Tanpa kita tahu nama hutan itu. Hutan yang amat ramah di siang hari. Tapi begitu buas saat bulan turun.
Entah berapa kilometer sudah ditempuh. Entah berapa kilometer lagi yang akan ditempuh. Aku rasa bebatuan ini tak punya ujung. Dimana kita bisa berhenti untuk menikmati hidup. Bukan seperti sekarang ini. Selalu tidak jelas nasib berkehendak apa.
Kemarin, sepasukan kompeni menyergap di ujung sungai. Entah sungai apa namanya. Yang pasti, ada tiga kawan kami tewas. Saat komandan bilang mundur, di belakang garis ada tiga tank dan sebuah truk berisi pasukan dengan senapan terkokang. Moncongnya melihat kami tajam. Hampir saja selongsong martir meluncur. Beruntung, semak-semak melindungi. Samar-samar kami pergi.
Begitulah dikala kami kena razia. Yang bisa kami lakukan hanya berdoa. Senjata kami hanya untuk melindungi diri. Bukan untuk agresi. Kalau disuruh berhadap-hadapan, jelas kalah. Taktik kami hit and run. Syukur-syukur bisa home run.
Tapi, biasanya, razia hanya berlaku siang hari. Malam hari, kompeni menjaga pos-posnya. Disiplin sekali. Sementara kami, memanfaatkan malam, dengan meluncur dari satu hutan ke hutan lain. Bisa jadi bentuk tikaman dari belakang. Atau lebih sering, bentuk menyelamatkan diri.
Kala malam itulah aku sering merenung. Aku ingat Asep, Ujang, dan Wawan. Dia yang pertama sekaligus dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan merekalah yang terakhir mati di kompi kami. Aku tidak tega. Wajahku selalu sembab. Tangisku untuk mereka.
Saat malam, kawan terbaikku hanya Ramlan, senapan semi otomatis yang aku dekap tiap berjaga malam. Ramlan aku curi dari serdadu Jepang. Bodinya masih bagus. Jarang macet. Sekali kutarik pelatuk, ada saja seorang musuh yang berteriak kesakitan. Aku tergolong penembak paling jitu di kompiku.
Tapi, apalah arti senapan itu. Ketiga kawanku jauh lebih bermakna. Ingin rasanya aku pergi dari peperangan ini. Tak perlulah ada lagi darah menggenang. Tak perlulah ada lagi tangis membanjir.
Di malam ini, di malam penjagaanku, aku masih terngiang mereka. Terutama momen terakhir, saat Asep memasang tubuhya di depan tubuhku sambil berteriak,"Awas Ramlan...". Saat ia gontai, aku sedang merunduk. Wajahnya jatuh tepat di depan mataku. Matanya sayu kemudian seperti hendak memberi pesan terakhir,"Jaga dirimu baik-baik. Lanjutkan terus perjuangan ini,".
Entah berapa kilometer sudah ditempuh. Entah berapa kilometer lagi yang akan ditempuh. Aku rasa bebatuan ini tak punya ujung. Dimana kita bisa berhenti untuk menikmati hidup. Bukan seperti sekarang ini. Selalu tidak jelas nasib berkehendak apa.
Kemarin, sepasukan kompeni menyergap di ujung sungai. Entah sungai apa namanya. Yang pasti, ada tiga kawan kami tewas. Saat komandan bilang mundur, di belakang garis ada tiga tank dan sebuah truk berisi pasukan dengan senapan terkokang. Moncongnya melihat kami tajam. Hampir saja selongsong martir meluncur. Beruntung, semak-semak melindungi. Samar-samar kami pergi.
Begitulah dikala kami kena razia. Yang bisa kami lakukan hanya berdoa. Senjata kami hanya untuk melindungi diri. Bukan untuk agresi. Kalau disuruh berhadap-hadapan, jelas kalah. Taktik kami hit and run. Syukur-syukur bisa home run.
Tapi, biasanya, razia hanya berlaku siang hari. Malam hari, kompeni menjaga pos-posnya. Disiplin sekali. Sementara kami, memanfaatkan malam, dengan meluncur dari satu hutan ke hutan lain. Bisa jadi bentuk tikaman dari belakang. Atau lebih sering, bentuk menyelamatkan diri.
Kala malam itulah aku sering merenung. Aku ingat Asep, Ujang, dan Wawan. Dia yang pertama sekaligus dalam hati aku berdoa, mudah-mudahan merekalah yang terakhir mati di kompi kami. Aku tidak tega. Wajahku selalu sembab. Tangisku untuk mereka.
Saat malam, kawan terbaikku hanya Ramlan, senapan semi otomatis yang aku dekap tiap berjaga malam. Ramlan aku curi dari serdadu Jepang. Bodinya masih bagus. Jarang macet. Sekali kutarik pelatuk, ada saja seorang musuh yang berteriak kesakitan. Aku tergolong penembak paling jitu di kompiku.
Tapi, apalah arti senapan itu. Ketiga kawanku jauh lebih bermakna. Ingin rasanya aku pergi dari peperangan ini. Tak perlulah ada lagi darah menggenang. Tak perlulah ada lagi tangis membanjir.
Di malam ini, di malam penjagaanku, aku masih terngiang mereka. Terutama momen terakhir, saat Asep memasang tubuhya di depan tubuhku sambil berteriak,"Awas Ramlan...". Saat ia gontai, aku sedang merunduk. Wajahnya jatuh tepat di depan mataku. Matanya sayu kemudian seperti hendak memberi pesan terakhir,"Jaga dirimu baik-baik. Lanjutkan terus perjuangan ini,".
Pram: Peranan dan Prahara
Aku memang tak pernah baca Pramoedya. Tak begitu menarik bagiku. Apa sebabnya? Apalagi kalau bukan...karya-karya beliau yang terlalu tebal. Malas aku.
Mengapa banyak orang jatuh hati dengan Pram. Aku sendiri tidak begitu simpatik. Meskipun beliau ini mengalami kezhaliman di masa Orde Baru, tapi bagiku hal itu adalah konsekuensi dari kekalahan kelompoknya (baca: kaum kiri) di pentas politik nasional akibat Gestapu 1965.
Wajar saja, beliau menerima itu. Karena sebelumnya, aktivis yang Masyumi and PSI-affliated harus menerima perlakuan sama kerasnya. Seperti Mochtar Lubis dan Hamka. Bahkan, beberapa bukti menyebutkan, Pram bersama Lekra-lah yang "berjasa" menyeret beberapa sastrawan "kontrev" ke penjara.
Memang begitulah seharusnya. Namanya juga konsekuensi. Kalau Pram orang yang teguh pendirian, pastilah ia bersabar. Bahwa penjara ini adalah salah satu perjalanan "religius"-nya dalam mencapai kebenaran Marxisme-Leninisme yang ia agungkan itu.
Sehingga saranku, bagi orang-orang yang hendak membangkitkan lagi nama Pram -yang memang aku akui, dia punya karya besar- bukanlah didasari atas kezhaliman yang menimpa dirinya. Tapi lebih disebabkan oleh karya-karya monumentalnya yang dahulu diberangus tanpa sebab.
Mengapa beliau mesti diberi penghormatan tinggi? Meskipun, semasa jayanya, beliau yang paling keras suaranya dalam pengganyangan melawan Koes Plus, The Beatles dan musik Ngak-Ngik-Ngok lainnya. Serta permusuhannya yang amat keras kepada "Manikebuis" seperti HB Jassin, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS Rendra, bahkan Chairil Anwar.
Saat itu, seni dibelenggu oleh penafsiran materalisme dialektik. Rasa-rasanya, saat itu, Indonesia seperti China di era Revolusi Kebudayaan. Bagi komunis, beda suara adalah haram. Mesti dilenyapkan. Kalau perlu dengan kejam.
Tapi, apa salahnya kita saling memaafkan. Lupakan masa lalu. Pram muda memang terlalu sering kalap dan khilaf. Bagaimanapun juga, karyanya adalah persembahan terbaik dari seseorang yang peduli nasib bangsanya.
Kita maklumi saja.
Mengapa banyak orang jatuh hati dengan Pram. Aku sendiri tidak begitu simpatik. Meskipun beliau ini mengalami kezhaliman di masa Orde Baru, tapi bagiku hal itu adalah konsekuensi dari kekalahan kelompoknya (baca: kaum kiri) di pentas politik nasional akibat Gestapu 1965.
Wajar saja, beliau menerima itu. Karena sebelumnya, aktivis yang Masyumi and PSI-affliated harus menerima perlakuan sama kerasnya. Seperti Mochtar Lubis dan Hamka. Bahkan, beberapa bukti menyebutkan, Pram bersama Lekra-lah yang "berjasa" menyeret beberapa sastrawan "kontrev" ke penjara.
Memang begitulah seharusnya. Namanya juga konsekuensi. Kalau Pram orang yang teguh pendirian, pastilah ia bersabar. Bahwa penjara ini adalah salah satu perjalanan "religius"-nya dalam mencapai kebenaran Marxisme-Leninisme yang ia agungkan itu.
Sehingga saranku, bagi orang-orang yang hendak membangkitkan lagi nama Pram -yang memang aku akui, dia punya karya besar- bukanlah didasari atas kezhaliman yang menimpa dirinya. Tapi lebih disebabkan oleh karya-karya monumentalnya yang dahulu diberangus tanpa sebab.
Mengapa beliau mesti diberi penghormatan tinggi? Meskipun, semasa jayanya, beliau yang paling keras suaranya dalam pengganyangan melawan Koes Plus, The Beatles dan musik Ngak-Ngik-Ngok lainnya. Serta permusuhannya yang amat keras kepada "Manikebuis" seperti HB Jassin, Goenawan Mohammad, Taufiq Ismail, WS Rendra, bahkan Chairil Anwar.
Saat itu, seni dibelenggu oleh penafsiran materalisme dialektik. Rasa-rasanya, saat itu, Indonesia seperti China di era Revolusi Kebudayaan. Bagi komunis, beda suara adalah haram. Mesti dilenyapkan. Kalau perlu dengan kejam.
Tapi, apa salahnya kita saling memaafkan. Lupakan masa lalu. Pram muda memang terlalu sering kalap dan khilaf. Bagaimanapun juga, karyanya adalah persembahan terbaik dari seseorang yang peduli nasib bangsanya.
Kita maklumi saja.
Sea Games dan Kebulatan Perut
Apa beda aku dengan peserta Sea Games? Jawabnya gampang. Kalau mereka sedang susah payah membulatkan tekad, maka aku susah payah melawan bulatnya perut.
Memang belum taraf radikal. Gendut atau obesity maksudku. Beratku masih normal. Artinya, sekitar perhitungan rumus: tinggi badan dikurangi 110. Tapi coba lihat lebih detail, dulu tulang rahangku jelas terlihat garang, sekarang? Malah gelambir di pipi yang terlihat seperti balon hendak meledak.
"Apa memang salah kalau badan kita gemuk?" kata temanku yang sedari tadi duduk di sampingku.
"Ah, ndak juga. Malah, makin gendut, makin seksi," jawabku sambil memegangi perut, seperti seorang bunda mengelus-elus kandungan yang hendak keluar sebulan lagi.
"Lalu, kenapa kamu benci kegemukan?"
"Aku tidak benci. Cuma tidak suka saja. Kesannya aku ini tidak prihatin sama krisis ekonomi yang sedang melanda negara Eropa."
"Lah, le...opo hubungane ambek krisis ekonomi???"
"Yo siap-siap rek. Kalau Indonesia kena imbasnya, terus Sembako hilang di pasaran. Kan kita bisa mati kelaparan. Jadi, kita mesti kencangkan pinggang dari sekarang,"
"Oh iya-ya. Biasakan puasa dari sekarang," tutup kawanku yang kemudian segera menghilang di tengah kumpulan manusia.
Sebenarnya bukan puasa sih jalan keluarnya. Percuma kalau puasa kita, puasa yang dilandasi dengan politik devide et impera. Eh salah, maksudku, "politik balas dendam". Bisa-bisa "Yaumud Jazaa" atau bahasa kerennya hari pembalasan terjadi melalui pesta pora bakda bedug. Alhasil, kita tambah endut!
Apa solusinya?
Berolahraga.
Terutama yang bisa membakar lemak. Tapi jangan menjadi orang-orang yang memaksakan diri. Membakar lemak bukanlah dalam arti sebenarnya. Jangan sampai ada berita luka bakar stadium akhir setelah kita memahami tulisan ini.
Membakar lemak di sini melalui proses kimiawi yang hanya sarjana matematika yang paham. Lho kok matematika? Ya, maksudku, orang biologi atau mungkin orang kimia. Asal jangan, orang Teknik Kimia. Nanti mereka kira perut kita adalah pabrik spring bed.
Pastikan anda dan aku di sini, turut menyukseskan sea games. Bukan hanya dengan menonton pertandingannya di televisi tetangga, tapi juga turut mencontoh gerakan mereka. Misal, sepak bola nanti sore ini. Ya, sebelumnya, kita juga bermain sepak bola bersama kawan sepermainan kita. Kemudian, besok Simon Santoso main, ya kita juga main bulu tangkis.
Tapi kalau voli pantai sebaiknya jangan.
Kenjeran ora penak blas ambune.
Memang belum taraf radikal. Gendut atau obesity maksudku. Beratku masih normal. Artinya, sekitar perhitungan rumus: tinggi badan dikurangi 110. Tapi coba lihat lebih detail, dulu tulang rahangku jelas terlihat garang, sekarang? Malah gelambir di pipi yang terlihat seperti balon hendak meledak.
"Apa memang salah kalau badan kita gemuk?" kata temanku yang sedari tadi duduk di sampingku.
"Ah, ndak juga. Malah, makin gendut, makin seksi," jawabku sambil memegangi perut, seperti seorang bunda mengelus-elus kandungan yang hendak keluar sebulan lagi.
"Lalu, kenapa kamu benci kegemukan?"
"Aku tidak benci. Cuma tidak suka saja. Kesannya aku ini tidak prihatin sama krisis ekonomi yang sedang melanda negara Eropa."
"Lah, le...opo hubungane ambek krisis ekonomi???"
"Yo siap-siap rek. Kalau Indonesia kena imbasnya, terus Sembako hilang di pasaran. Kan kita bisa mati kelaparan. Jadi, kita mesti kencangkan pinggang dari sekarang,"
"Oh iya-ya. Biasakan puasa dari sekarang," tutup kawanku yang kemudian segera menghilang di tengah kumpulan manusia.
Sebenarnya bukan puasa sih jalan keluarnya. Percuma kalau puasa kita, puasa yang dilandasi dengan politik devide et impera. Eh salah, maksudku, "politik balas dendam". Bisa-bisa "Yaumud Jazaa" atau bahasa kerennya hari pembalasan terjadi melalui pesta pora bakda bedug. Alhasil, kita tambah endut!
Apa solusinya?
Berolahraga.
Terutama yang bisa membakar lemak. Tapi jangan menjadi orang-orang yang memaksakan diri. Membakar lemak bukanlah dalam arti sebenarnya. Jangan sampai ada berita luka bakar stadium akhir setelah kita memahami tulisan ini.
Membakar lemak di sini melalui proses kimiawi yang hanya sarjana matematika yang paham. Lho kok matematika? Ya, maksudku, orang biologi atau mungkin orang kimia. Asal jangan, orang Teknik Kimia. Nanti mereka kira perut kita adalah pabrik spring bed.
Pastikan anda dan aku di sini, turut menyukseskan sea games. Bukan hanya dengan menonton pertandingannya di televisi tetangga, tapi juga turut mencontoh gerakan mereka. Misal, sepak bola nanti sore ini. Ya, sebelumnya, kita juga bermain sepak bola bersama kawan sepermainan kita. Kemudian, besok Simon Santoso main, ya kita juga main bulu tangkis.
Tapi kalau voli pantai sebaiknya jangan.
Kenjeran ora penak blas ambune.
Rabu, 16 November 2011
Seperti Kambing Memakan Kertas yang Berserak
Aku selesai membaca Road to Mecca. Buku itu tebal, tapi nikmat dibaca. Si Leopold Weiss ini dengan begitu mengagumkan, menggambarkan kondisi Timur Tengah di tahun 1920-an.
Ada satu hal yang membuat aku tersentak. Suatu hari, Weiss berkunjung ke Mesir. Di sana, ia berkenalan dengan Al Maraghi, seorang pembesar Al Azhar yang beberapa tahun kemudian menjadi rektor di sana.
Weiss pertama kali melihat Al Azhar, begitu kagum. Kampus itu dipenuhi banyak pelancong yang jauh-jauh datang untuk belajar. Mereka berjam-jam duduk. Diperhatikanlah guru-guru itu berteriak-teriak. Saking banyaknya pelajar yang memenuhi kelas.
Kemudian Al Maraghi bilang begini sama Weiss,"Kamu tahu wahai saudaraku?". Weiss masih dalam keheranan. Ia coba memperhatikan serius tiap kata yang keluar. "Mereka itu seperti kambing yang memakan kertas berserakan di jalan-jalan. Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka 'makan' itu,".
Weiss terdiam.
Yang paling kita ketahui bahwa Al Maraghi adalah salah satu murid Muhammad Abduh yang paling brilian. Sedangkan Muhamad Abduh sendiri, bersama Jamaludin Al Afghani, kemudian dilanjutkan Rasyid Ridha, menjadi salah satu pelopor modernisme pemikiran Islam.
Aku jadi teringat seorang sarjana barat pernah menulis tentang peradaban Islam. "Sesungguhnya pembaharuan yang terjadi pada Islam itu, dimulai dari luar pagar Al Azhar,". Hal itu menunjuk pada gerakan Abduh, yang memang terjadi di luar komunitas Al Azhar. Justru, institusi pendidikan itulah yang akhirnya banyak mengadopsi pemikiran Abduh yang "rekam jejak akademiknya" boleh dibilang kurang.
Aku sekali lagi berpikir. Dalam.
Apakah kita mulai kehilangan esensi menuntut ilmu?
Ada satu hal yang membuat aku tersentak. Suatu hari, Weiss berkunjung ke Mesir. Di sana, ia berkenalan dengan Al Maraghi, seorang pembesar Al Azhar yang beberapa tahun kemudian menjadi rektor di sana.
Weiss pertama kali melihat Al Azhar, begitu kagum. Kampus itu dipenuhi banyak pelancong yang jauh-jauh datang untuk belajar. Mereka berjam-jam duduk. Diperhatikanlah guru-guru itu berteriak-teriak. Saking banyaknya pelajar yang memenuhi kelas.
Kemudian Al Maraghi bilang begini sama Weiss,"Kamu tahu wahai saudaraku?". Weiss masih dalam keheranan. Ia coba memperhatikan serius tiap kata yang keluar. "Mereka itu seperti kambing yang memakan kertas berserakan di jalan-jalan. Sesungguhnya mereka tidak tahu apa yang mereka 'makan' itu,".
Weiss terdiam.
Yang paling kita ketahui bahwa Al Maraghi adalah salah satu murid Muhammad Abduh yang paling brilian. Sedangkan Muhamad Abduh sendiri, bersama Jamaludin Al Afghani, kemudian dilanjutkan Rasyid Ridha, menjadi salah satu pelopor modernisme pemikiran Islam.
Aku jadi teringat seorang sarjana barat pernah menulis tentang peradaban Islam. "Sesungguhnya pembaharuan yang terjadi pada Islam itu, dimulai dari luar pagar Al Azhar,". Hal itu menunjuk pada gerakan Abduh, yang memang terjadi di luar komunitas Al Azhar. Justru, institusi pendidikan itulah yang akhirnya banyak mengadopsi pemikiran Abduh yang "rekam jejak akademiknya" boleh dibilang kurang.
Aku sekali lagi berpikir. Dalam.
Apakah kita mulai kehilangan esensi menuntut ilmu?
Senin, 14 November 2011
Sohib Gua Paling Asoy
Tadi malem, Riki nginep di kandang gue. Di perpus langit ke enam. Ya..seliting di bawah surga dalam strata langit lapis legit (ada tujuh lapis). Dia ngungsi di tempat gue karena katanya kagak bawa kunci kandangnya dia. Berhubung kandang gua penuh, jadi kami tidur di kursi yang disusun memanjang seperti shaf sholat.
Ceritanya, malam kemarin, kita baru aja pulang mentoring. Biasanya mentoring selesai jam 10 malem. Gua nggak mungkin dong balik ke Sidoarjo. Secara, jauh Sob. Jadi biasanya gua emang numpang di kantor. Mentoring gua nggak pernah pagi, siang atau sore. Dari awal kuliah, sampai lima tahun ini, ya malem terus kayak bis cepat antar kota antar provinsi. Gua sih sudah siap-siap dengan hal ini. Minimal bawa baju ganti lah.
Niatnya kita mau ngerjain tugas. Berhubung di kandang juga banyak kompi. Tapi seperti yang gua duga, itu cuma gaya-gayaan doang. Sampai kantor udah jam 11 malem. Jadilah kita sekedar ngenet-ngenet. Kita nonton Stand Up Commedy di Youtube sampai jam 1 malem. Ngakak-ngakak lah pokoknya.
Abis itu, Riki mau ngerjain TA-nya. Gua sih gak percaya. Tampang kayak dia. Paling-paling nyalain Winamp, terus molor. Eh bener...dia nyalain Winamp. Yang diputar adalah lagu Slank. Band yang dia sukai dengan sangat. Band yang vokalisnya selalu nggak bawa baju kalau konser (telanjang dada). Berhubung gua agak sensi sama Slank. Lalu kita debat. Eyel-eyelan. Gua kontra Slank. Dia habis-habisan bela Slank.
Jam 2 baru reda.
Ya, begitulah Riki. Meskipun kalo bercanda nggak tahu diri, gua tetap sayang ama lu Sob! Sebenarnya ada dua lagi sohib gua. Namanya Fadwi ama Bias. Fadwi kemarin ketemu di Beskem. Nah, kalau gua ketemu dia, pasti bawaannya ngakak. Nah, kalo Bias? Ah, dia mah sama aja. Gayanya emang kayak lebih kalem gitu. Padahal, kalo udah becanda, sama beringasnya kayak Riki sama Fadwi.
Nggak tahu dah Sob, sampe kapan kita bisa bareng-bareng terus.
Sabtu, 05 November 2011
Entertainer Sakit Panggung
Aku berdiri. Di depanku ada banyak manusia. Lima puluh kira-kira. Di sampingku ada empat makhluk lain yang sedang menunduk. Menahan dahsyatnya rasa malu.
Ya, ya, aku masih ingat. Ingat betul. Meski delapan tahun berlalu. Kala Kak Indra mulai tarik nafas panjang, aku segera buang nafas. Nafas yang kutahan sejak tadi. Nafas dari wajah yang memerah delima.
Di Masjid Ukhuwah Islamiyah itu mungkin kesan paling membekas. Dalam riwayat medis demam panggung, akulah pemegang rekornya. Aku tahu ini sifat bawaan. Meski keempat kawan lain bisa mengatasi itu, tetap saja aku kesulitan. Aku begidik takut. Bergetar malu. Keringat meluncur sejagung-jagung.
Aku dan keempat kawan itu membawa tiga tembang. Kurasa lumayan. Tidak ada fals. Tapi kami melakukan kesalahan besar sebagai seorang entertainer. Kita lupa eye contact.
Jelas saja, di antara 50 orang itu, tidak ada yang berjenis kelamin sama dengan kami.
Sial...Panitia bungkam saja.
Aku masing ingat, kami dapat amplop berisi uang 40 ribu dalam pecahan receh. Aku yang pegang, karena aku manajer keuangan. Tapi uang itu segera habis di rumah makan padang. Kami kelaparan.
Alhamdulillah, selama 2 tahun berkarir, Prima Voice mengajarkan pengalaman berharga. Selain tentang persaudaraan yang kekal, juga sebuah pengalaman pertama sebagai seorang entertainer. Meski gagal.
***
Hari ini aku mengisi lagi di sebuah acara. Entah sudah berapa kali aku diundang. Seingatku, sejak aku semester 4 sampai sekarang semester 11. Aku juga kadang bertanya-tanya, apa memang ada hal yang patut dicontoh dalam diriku sehingga pantas berdiri di hadapan mereka.
Kepalaku menggeleng.
Insya Allah, itu adalah hari terakhirku menjadi pembicara. Sebuah pekerjaan mulia tanpa pamrih. Pekerjaan yang melelahkan tapi menyenangkan. Meskipun aku akui, aku tak punya basic public speaking. Semuanya mengalir saja dan sepertinya agak parah cara bicaraku itu. Maklumi saja.
Dan dalam waktu dekat ini aku gantung pena. Berhenti jadi jurnalis (gadungan). Sehingga, habis sudah dua pekerjaan yang aku cintai bertahun-tahun terakhir ini. Aku kembali lagi jadi rakyat biasa.
Ya, ya, aku masih ingat. Ingat betul. Meski delapan tahun berlalu. Kala Kak Indra mulai tarik nafas panjang, aku segera buang nafas. Nafas yang kutahan sejak tadi. Nafas dari wajah yang memerah delima.
Di Masjid Ukhuwah Islamiyah itu mungkin kesan paling membekas. Dalam riwayat medis demam panggung, akulah pemegang rekornya. Aku tahu ini sifat bawaan. Meski keempat kawan lain bisa mengatasi itu, tetap saja aku kesulitan. Aku begidik takut. Bergetar malu. Keringat meluncur sejagung-jagung.
Aku dan keempat kawan itu membawa tiga tembang. Kurasa lumayan. Tidak ada fals. Tapi kami melakukan kesalahan besar sebagai seorang entertainer. Kita lupa eye contact.
Jelas saja, di antara 50 orang itu, tidak ada yang berjenis kelamin sama dengan kami.
Sial...Panitia bungkam saja.
Aku masing ingat, kami dapat amplop berisi uang 40 ribu dalam pecahan receh. Aku yang pegang, karena aku manajer keuangan. Tapi uang itu segera habis di rumah makan padang. Kami kelaparan.
Alhamdulillah, selama 2 tahun berkarir, Prima Voice mengajarkan pengalaman berharga. Selain tentang persaudaraan yang kekal, juga sebuah pengalaman pertama sebagai seorang entertainer. Meski gagal.
***
Hari ini aku mengisi lagi di sebuah acara. Entah sudah berapa kali aku diundang. Seingatku, sejak aku semester 4 sampai sekarang semester 11. Aku juga kadang bertanya-tanya, apa memang ada hal yang patut dicontoh dalam diriku sehingga pantas berdiri di hadapan mereka.
Kepalaku menggeleng.
Insya Allah, itu adalah hari terakhirku menjadi pembicara. Sebuah pekerjaan mulia tanpa pamrih. Pekerjaan yang melelahkan tapi menyenangkan. Meskipun aku akui, aku tak punya basic public speaking. Semuanya mengalir saja dan sepertinya agak parah cara bicaraku itu. Maklumi saja.
Dan dalam waktu dekat ini aku gantung pena. Berhenti jadi jurnalis (gadungan). Sehingga, habis sudah dua pekerjaan yang aku cintai bertahun-tahun terakhir ini. Aku kembali lagi jadi rakyat biasa.
Rabu, 02 November 2011
Buku Pengantar Tidur
Tulisan ini diilhami dari kekonyolan Sastro Moeni. Aku mati ketawa dengar lagu-lagu mereka. Di masa dulu, ternyata, ada grup-grup musik nyentrik. Aku pernah dengar nama Pancaran Sinar Petromak, Pemuda Harapan Bangsa, atau Pengantar Minum Racun. Mereka lucu dan aku suka kelucuan.
Tapi aku tak mau bahas yang lucu-lucu. Ini seputar buku yang bergelimpangan di atas kasurku. Buku yang aku sebut "pengantar tidur".
Contoh, dalam minggu ini saja, berapa buku yang berserak di atas kasur. Bayangkan, aku tidur bukan di atas seprai, tapi di atas buku. Tentu kurang nyaman bukan. Tapi aku nyaman-nyaman saja. Maklum, kebo! Molor mulu.
Hari Sabtu aku baca buku "Syahrir" karya Rosihan Anwar. Minggu: bukunya Lili Nur Aulia. Senin: catatan Ahmad Wahib. Selasa: buku karangan Hamka. Tadi malam: catatan demonstrannya Soe Hoek Gie yang sudah saya baca berulang kali. Dan nanti malam, insya Allah Road to Mecca-nya M Assad alias Leopold Weiss yang orang Jerman itu.
Setelah baca, baru aku bisa bersemayam dengan tenang. Biasanya di atas jam 11 malam baru bisa tidur. Terkadang baca sampai jam satu kalau sedang insomnia. Entah ini baik atau tidak.
Kebiasaan ini sudah berlangsung lama. Bahkan, kalau seandainya tidak ada tivi di rumah, aku bisa lebih sinting lagi jatuh cintanya pada buku ini. Gara-gara ada OVJ saja, kadang aku mengalihkan perhatian. Hanya untuk menghibur diri. Oke deh, yang penting, tiada hari tanpa membaca!
Tapi aku tak mau bahas yang lucu-lucu. Ini seputar buku yang bergelimpangan di atas kasurku. Buku yang aku sebut "pengantar tidur".
Contoh, dalam minggu ini saja, berapa buku yang berserak di atas kasur. Bayangkan, aku tidur bukan di atas seprai, tapi di atas buku. Tentu kurang nyaman bukan. Tapi aku nyaman-nyaman saja. Maklum, kebo! Molor mulu.
Hari Sabtu aku baca buku "Syahrir" karya Rosihan Anwar. Minggu: bukunya Lili Nur Aulia. Senin: catatan Ahmad Wahib. Selasa: buku karangan Hamka. Tadi malam: catatan demonstrannya Soe Hoek Gie yang sudah saya baca berulang kali. Dan nanti malam, insya Allah Road to Mecca-nya M Assad alias Leopold Weiss yang orang Jerman itu.
Setelah baca, baru aku bisa bersemayam dengan tenang. Biasanya di atas jam 11 malam baru bisa tidur. Terkadang baca sampai jam satu kalau sedang insomnia. Entah ini baik atau tidak.
Kebiasaan ini sudah berlangsung lama. Bahkan, kalau seandainya tidak ada tivi di rumah, aku bisa lebih sinting lagi jatuh cintanya pada buku ini. Gara-gara ada OVJ saja, kadang aku mengalihkan perhatian. Hanya untuk menghibur diri. Oke deh, yang penting, tiada hari tanpa membaca!
Selasa, 01 November 2011
Menyaksikan Tuhan Tertawa
Milan Kundera, novelis Ceko yang terkenal itu pernah berkata,"Tuhan tertawa saat manusia berpikir,".
Entah ini bentuk tawa kebanggaan, keharuan dan kebahagiaan karena manusia yang notabene ciptaan-Nya yang paling favorit, akhirnya bisa beroperasi sesuai fungsinya. Atau malah sebuah tawa ironis sekaligus menyindir tentang keangkuhan manusia yang mencoba menghitung-hitung kekuatannya, lalu terkadang membanding-bandingkannya dengan kekuatan Tuhan. Ya... inilah salah satu bentuk kesombongan spesies kita.
Yang pasti Kundera telah bicara jujur. Ia telah membangkitkan hasrat humor di tengah keseriusan etika kapitalisme. Mungkin juga era globalisasi yang memacu manusia terlalu cepat. Seperti balapan sepeda kumbang melawan motor besar 1000 cc.
Aku kira, aku telah kehilangan jati diri sekarang. Entah siapa yang memformat ulang. Yang pasti, nafas humor yang dulu dengan bangga aku miliki, kini mulai terkikis. Ya, terhempas frustasi realitas, dan sering aku menyerah di dalamnya.
Kapan hari aku baca "Student Hidjo"-nya Mas Marco. Buku terbitan 1918 ini cukup menyindir aku. Kisahnya tentang Hidjo, anak yang lugu dan rajin baca buku, lalu pergi ke Eropa, kemudian kembali lagi ke Hindia dengan wataknya yang sudah berubah. Pemuda yang pendiam itu malah berubah blingsatan. Dan, "dengan sukses" menghamili Betje, anak Ibu kosnya di Belanda yang lumayan "agresif" sebagaimana lazimnya wanita barat.
Itu gara-gara Hidjo mendengar kisah opera Faust. Opera itu berkisah tentang lelaki bernama "Faust" yang sangat gemar belajar dan bergumul dengan tebal-tebalnya buku. Waktunya yang tersita oleh buku, membuatnya tak sempat mencicipi kesenangan dunia. Para kawannya menjuluki ia seperti seorang "saint" yang suci nan anti keduniaan.
Singkat cerita, di masa tuanya, ia jatuh cinta pada seorang wanita bersuami. Cinta terlarang itu berlangsung hingga ke atas ranjang. Ia lupa neraka jahannam yang dulu diseganinya. Akhirnya ia mati tanpa membawa kepandaian yang dipupuknya bertahun-tahun lamanya. Ia terjerumus oleh godaan nafsu angkara murka.
Kemudian, setelah opera, noni-noni Belanda yang cantik-cantik itu, bertanya dengan nada sindiran,"Apakah Tuan Hidjo hendak seperti Faust?". Mereka tertawa dan Hidjo merenung dalam.
Di sebuah kisah lain, tumpukan buku juga membuat orang tidak waras jalan berpikirnya. Cervantes menceritakannya tiga abad lalu lewat Don Quixote-nya yang tersohor. Kadang memang, pergulatan dengan buku membuat kita berpikir dalam, jernih, dan suci. Tapi buku juga memaksa kita menahan tawa terlalu dalam. Memaksa mata kita untuk lebih banyak bergerak, ketimbang mulut yang mengembang senyum.
Kundera juga menyebutkan, bahwa musuh dari gairah hidup serta kreativitas adalah agelaste. Istilah ini berasal dari Yunani kuno. Bercerita tentang kaum cerdik pandai, orang-orang level atas, yang mempunyai nihilitas dalam sifat kehumoran. Mereka susah tertawa.
***
Tujuh tahun lalu, aku berdiri di sebuah mimbar. Kemudian aku berorasi dan orasi itu membuat audiens mengocok perutnya. Kala itu masih SMA kelas 2. Aku bahagia sekali mesti harus menelan pil pahit kekalahan. Aku gagal jadi ketua sebuah organisasi intrasekolah. Hehe.
Sekarang aku berbeda. Aku malah terlalu serius. Tidak ada lagi darah sanguin yang bergejolak. Tidak ada lagi aksi nekat ditampilkan. Bahkan banyak yang bilang, aku terlalu frigid. Wow...
Kundera benar. Humor menjadi penting untuk mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini disusupi keputusasaan. Dan, keputusasaan itu lebih banyak muncul akibat monopoli klaim kebenaran oleh realitas. Seakan-akan kebenaran hanya satu. Persepsi cuma boleh satu. Pendapat harus satu. Parameter keberhasilan hanya boleh satu jalan. Cita-cita mesti bermuara sama pula.
Padahal kan tidak.
Tertawa muncul akibat persepsi. Dan di tiap kepala manusia, persepsi itu muncul dari jalan-jalan yang bercabang. Tapi kemudian hentakan telah membuatnya tertawa. Berarti ada frekuensi yang menghilangkan variasi persepsi. Kemudian bersama-sama menuju pencerahan imajinasi. Maka di sini kita bisa tarik kesimpulan bahwa kesehatan jiwa itu seputar humor, toleransi, dan imajinasi.
Entah ini bentuk tawa kebanggaan, keharuan dan kebahagiaan karena manusia yang notabene ciptaan-Nya yang paling favorit, akhirnya bisa beroperasi sesuai fungsinya. Atau malah sebuah tawa ironis sekaligus menyindir tentang keangkuhan manusia yang mencoba menghitung-hitung kekuatannya, lalu terkadang membanding-bandingkannya dengan kekuatan Tuhan. Ya... inilah salah satu bentuk kesombongan spesies kita.
Yang pasti Kundera telah bicara jujur. Ia telah membangkitkan hasrat humor di tengah keseriusan etika kapitalisme. Mungkin juga era globalisasi yang memacu manusia terlalu cepat. Seperti balapan sepeda kumbang melawan motor besar 1000 cc.
Aku kira, aku telah kehilangan jati diri sekarang. Entah siapa yang memformat ulang. Yang pasti, nafas humor yang dulu dengan bangga aku miliki, kini mulai terkikis. Ya, terhempas frustasi realitas, dan sering aku menyerah di dalamnya.
Kapan hari aku baca "Student Hidjo"-nya Mas Marco. Buku terbitan 1918 ini cukup menyindir aku. Kisahnya tentang Hidjo, anak yang lugu dan rajin baca buku, lalu pergi ke Eropa, kemudian kembali lagi ke Hindia dengan wataknya yang sudah berubah. Pemuda yang pendiam itu malah berubah blingsatan. Dan, "dengan sukses" menghamili Betje, anak Ibu kosnya di Belanda yang lumayan "agresif" sebagaimana lazimnya wanita barat.
Itu gara-gara Hidjo mendengar kisah opera Faust. Opera itu berkisah tentang lelaki bernama "Faust" yang sangat gemar belajar dan bergumul dengan tebal-tebalnya buku. Waktunya yang tersita oleh buku, membuatnya tak sempat mencicipi kesenangan dunia. Para kawannya menjuluki ia seperti seorang "saint" yang suci nan anti keduniaan.
Singkat cerita, di masa tuanya, ia jatuh cinta pada seorang wanita bersuami. Cinta terlarang itu berlangsung hingga ke atas ranjang. Ia lupa neraka jahannam yang dulu diseganinya. Akhirnya ia mati tanpa membawa kepandaian yang dipupuknya bertahun-tahun lamanya. Ia terjerumus oleh godaan nafsu angkara murka.
Kemudian, setelah opera, noni-noni Belanda yang cantik-cantik itu, bertanya dengan nada sindiran,"Apakah Tuan Hidjo hendak seperti Faust?". Mereka tertawa dan Hidjo merenung dalam.
Di sebuah kisah lain, tumpukan buku juga membuat orang tidak waras jalan berpikirnya. Cervantes menceritakannya tiga abad lalu lewat Don Quixote-nya yang tersohor. Kadang memang, pergulatan dengan buku membuat kita berpikir dalam, jernih, dan suci. Tapi buku juga memaksa kita menahan tawa terlalu dalam. Memaksa mata kita untuk lebih banyak bergerak, ketimbang mulut yang mengembang senyum.
Kundera juga menyebutkan, bahwa musuh dari gairah hidup serta kreativitas adalah agelaste. Istilah ini berasal dari Yunani kuno. Bercerita tentang kaum cerdik pandai, orang-orang level atas, yang mempunyai nihilitas dalam sifat kehumoran. Mereka susah tertawa.
***
Tujuh tahun lalu, aku berdiri di sebuah mimbar. Kemudian aku berorasi dan orasi itu membuat audiens mengocok perutnya. Kala itu masih SMA kelas 2. Aku bahagia sekali mesti harus menelan pil pahit kekalahan. Aku gagal jadi ketua sebuah organisasi intrasekolah. Hehe.
Sekarang aku berbeda. Aku malah terlalu serius. Tidak ada lagi darah sanguin yang bergejolak. Tidak ada lagi aksi nekat ditampilkan. Bahkan banyak yang bilang, aku terlalu frigid. Wow...
Kundera benar. Humor menjadi penting untuk mengisi ruang-ruang kosong yang selama ini disusupi keputusasaan. Dan, keputusasaan itu lebih banyak muncul akibat monopoli klaim kebenaran oleh realitas. Seakan-akan kebenaran hanya satu. Persepsi cuma boleh satu. Pendapat harus satu. Parameter keberhasilan hanya boleh satu jalan. Cita-cita mesti bermuara sama pula.
Padahal kan tidak.
Tertawa muncul akibat persepsi. Dan di tiap kepala manusia, persepsi itu muncul dari jalan-jalan yang bercabang. Tapi kemudian hentakan telah membuatnya tertawa. Berarti ada frekuensi yang menghilangkan variasi persepsi. Kemudian bersama-sama menuju pencerahan imajinasi. Maka di sini kita bisa tarik kesimpulan bahwa kesehatan jiwa itu seputar humor, toleransi, dan imajinasi.
Langganan:
Postingan (Atom)