Selasa, 18 Oktober 2011

Intifada

Rama, adik temanku, cerita banyak hal. Dia baru saja jadi mahasiswa. Maklumlah kalau gayanya masih anak SMA. Suatu hari kita ketemu, ia banyak cerita tentang masa SMA-nya. Eh, bukan ding. Masa STM-nya.

Kisahnya sama seperti kisah yang aku dengar dulu. Dulu sekali, jaman sekolah berseragam. Masa-masa anak muda lagi belagu-belagunya. Masa pencarian jati diri, kata istilah psikologi.

Gengsi. Bisa jadi akar permasalahan. Kadang penindasan dimulai dari kata...ya itu tadi. Gengsi. Apalagi di hati remaja. Gengsi itu harga mati. Gengsi berarti harga diri. Bahkan juga berarti nyawa dan jiwa kita. Jadi, tidak ada kehidupan, tanpa gengsi.

Gengsi itulah yang mengawali kisah Rama. Terutama kisahnya yang picisan. Tentang heroisme. Di atas batu-batu yang berterbangan. Dalam kehanyutan suasana perang yang mereka namakan tawuran. Seru memang. Tapi aku sudah bosan mendengarnya.  

Tiap malam minggu, aku dengar cerita itu. Di pojokan gang, dari mulut kawan-kawanku sendiri. Jujur aku menikmatinya. Semua isi pembicaraan sangat menarik. Cerita mereka beragam sisi. Tentang Keberanian yang menonjol. Loyalitas yang mengakar. Solidaritas yang rapat. Kisah itu bak ksatria samurai. Dan, kebetulan, mereka memang "samurai-samurai" yang handal.

Cerita itu mengena. Pengalaman terakhir pulang kampung, bis yang aku tumpangi "disambangi". Sebuah golok terbang ke jendela. Di baliknya ada seorang Ibu. Ia langsung menjerit, histeris, sulit ditenangkan. Supir bis spot jantung. Kenek teriak "tarik yang kenceng lai!". Penumpang terkencing-kencing.

Aku kira, tahun-tahun berlalu, batu-batu itu sudah berhenti terbang. Sayapnya sudah layu. Tapi tidak. Benar kata Rama. Tawuran akan tetap abadi. Sampai Menteri Pendidikan mati. Dan, sampai sekolah-sekolah dibubarkan. Berarti, sama saja sampai Indonesia bangkrut.

Aku suka terkenang kalau mendengar istilah di kalangan mereka. Mereka sendiri menyebut tawuran dengan kata "tempur". Bagi yang mati, akan dijadikan pahlawan. Dikunjungi kuburannya setiap tahun oleh para juniornya. Ini benar. Aku tidak bohong. Pertempuran itu sering menjatuhkan korban. Jangankan luka, multilasi saja ada.

Mereka mengenal penculikan. Banyak dari penculikan yang tak kembali. Tapi ada juga perjanjian "pertukaran tawanan". Mereka kenal juga dengan prinsip-prinsip intelijen. Memata-matai adalah langkah awal sebelum pertempuran.

Mereka sebut polisi dengan kata "polis". Seperti dialek melayu saja. Ngakunya, mereka tidak takut polis. Tapi kalau ada sirine bunyi, mereka terbirit-birit. Haha. Biasanya, setelah tertangkap, rambut botak. Kapokkah mereka? Wih,semakin sering ditangkap, semakin bangga.

Tentang "persenjataan", mereka punya istilah lagi. Ada CR, BR, SM, Beceng, Gir, Kopel, Ekor Pari, dan banyak lagi. Yang paling ditakuti, cuma beceng. Jarang ada yang punya. Sekalinya punya bisa naik kasta. Dan, yang paling legendaris adalah...Batu.

Tapi memang, sebagian besar dari mereka, anggap ini hiburan saja. Itung-itung tes nyali. Tes "keselonan". Posisi panglima pastilah mereka yang paling "selon". Tidak mesti badan kekar, bahkan sering panglima boncel kurus kering.

Ya...pertempuran itu memang tidak ada yang penting. Apalagi aku cuma pengamat. Paling-paling, aku jadi "Sie Doa Bersama" kalau ada pertempuran. Doa penuh cemas, kekhawatiran, dan sedikit ketakutan.

Aku pikir ini wajar. Resiko sebagai kota besar. New York, London, Paris, juga menyimpan hal yang sama. Bara panas yang siap membakar sudut-sudut ketidakadilan. Lihat saja sejarah mereka. Dari sana api mengebul pertama kali. Jarkarta turut terindikasi. Terutama pemudanya. Yang nganggur. Yang frustasi. Yang mau gantung diri.

Dan, saat awang-awangku kembali, aku melihat Rama masih cerocos bercerita. Aku tersenyum sambil mengangguk, tanda atensi. Setiap kali ia bilang "tawuran" aku selalu teringat sebuah lirik.

"Anak anak sekolah berangkat untuk tawuran. Berbekal poster Madona dan mimpi kura-kura ninja. Mereka susuri jalan-jalan masa depan. Penuh ancaman dan topeng-topeng kemunafikan"

Saat ia capai bercerita, aku masih dalam senyum lamunan. Hatiku berkata, ternyata batu juga punya suara lantang. Dalam diam, ia mewakili pemberontakan. Sayapnya mengepakkan pembangkangan terhadap kuasa penindasan. Sekaligus perampasan kembali hak-hak yang telah dirampas. Kenangan masa-masa indah -dulu, sekarang dan akan datang, dinobatkan pada kerikil. Yang tetap bergeming. Meski semua mata beralih padanya.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar