Kamis, 20 Oktober 2011

Genderang Perang

Hari ini, genderang dibunyikan. Tiap moncong peluru menghadap ke udara. Tadi pagi, ada kontak senjata. Itu pertama kalinya. Ketegangan ini diperkirakan berlangsung lama.

Ini perang antara aku dan seorang berpengaruh. Perang yang tak imbang. Tapi dipaksakan naik pentas. Aku, David,akan melawan Goliath. Batu melawan pentungan. Tapi, aku telaah lagi, nyatanya lebih parah dari itu. Perang ini: tangan kosong melawan F 16.

Aku sadar, nasibku ada di tangan dia. Sebegitu pengaruhnya menurutku. Setidaknya, kalau tuhan -dianggap- tidak ada.

Dia bisa membuat masa depanku pupus. Cita-citaku terbang jauh, tak kembali lagi. Juga tak segan memakan keringkihan umurku. Bayangkan saja, penjajahan ini sudah setahun. Tanpa masa depan jelas. Tanpa harapan yang bisa buat bersandar.

Sebegitu hebatkah dia?
Ah, tidak juga.

Seminggu kemarin aku menggelar makar. Aku belum tahu hasilnya. Yang pasti, menurut penerawanganku, ia marah besar. Dan posisiku sekarang di atas angin.

Kudeta ini menggembirakan. Aku lega. Perasaanku plong. Ganjalan tidak ada lagi. Walaupun inti masalahnya jauh dari kata selesai. Aku merasa telah memecahkan sebongkah batu besar. Batu yang menghalangi perjalanku selama ini.

Apakah aku salah dalam hal ini?
Ah, tidak juga.

Aku tipe seorang reaktif. Tidak akan memulai, sebelum yang lain memulai. Kata orang Betawi, "Lu jual, gua beli". Aku menunggu pejual. Baru aku beli. Kalau tidak ada. Apa aku harus mengada-ada?

Aku yakin, posisiku benar. Dia salah. Apa salahnya? Dia memaksaku melakukan hal yang tak kusenangi. Memang sih, dunia ini tidak seperti taman bermain. Tidak semua hal bisa kita suka. Tapi, ini sudah parah. Dia berusaha mengalihkanku. Membelokan jalan hidupku. Mempengaruhiku untuk terjun ke jurang.

Awalnya, ada rasa takut. Setahun terakhir, aku menurut saja. Patuh. Menyembah. Lempar senyum manis sampai gigi kering. Aku tidak lebih seperti sapi dicocok hidungnya. Harga diriku terpaksa aku jual. Murah meriah. Diskon big sale.

Minggu kemarin, kulminasi. Aku tak tahan. Pertama, aku boikot. Diam-diam aku rencanakan aksi. Aku sedang perkuat amunisi. Tidak cukup satu, seribu magazin aku butuh.

Kemudian, aku mulai membangkang. Menolak menjalankan tugas. Aku tahu, ini pahit. Tapi baru ini yang bisa kulakukan. Aku belum berani teriak. Amendelku pendek. Pita suaraku masih basah berlendir. Tidak terang benderang, seperti orator lain.

Pagi ini, perang dimulai. Aku kehabisan amunisi. Mulai hari ini, aku buka front gerilya di tapal batas. Kita pakai hit and run. Itulah satu-satunya jalan keluar. Pasukan miskin senjata, mesti pintar irit-irit peluru.

Aku punya satu pengharap. Ia yang akan beri aku "peluru pamungkas". Memang tidak berbentuk lancip. Tapi ia jauh lebih tajam. Peluru itu, berbentuk ikrar, keyakina yang menghujam. Antara aku dan Pembelaku. Isinya begini:

"Pembelaku, singkirkanlah rasa takut dan sedih dari nuraniku. Hapuskan rasa sempit dan pelit dari akal sehatku. Hadapkan aku pada manusia paling sombong dan kuat sekalipun, maka aku akan melawan asal Kau bersamaku,"

**
Nanti, kapan-kapan, aku kirim surat wasiat terakhirku padamu. AKu belum yakin siapa pemenangnya. Aku bisa menang, juga kemungkinan besar kalah. Surat itu, jaga-jaga, jikalau aku mati nanti. Supaya orang lain bisa lihat. Siapa-siapa saja orang yang rela mati, demi harga diri.      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar