Minggu, 30 Oktober 2011

Escape From Freedom

Hari ini aku pinjam buku bagus. Catatan hariannya Ahmad Wahib. Padahal 9 bulan sebelumnya aku sudah pinjam buku ini. Tapi, aku kepingin lagi membaca. Aku suka buku ini, sebab isinya reflektif sekaligus ekspresif. Aku bisa baca kegalauannya dengan jelas. Mungkin, buku itu adalah "kawan" Wahib dari keterasingannya.

Hari ini aku ketemu sahabat perjuanganku dulu di kajian. Sudah hampir sebulan kita tidak bertemu. Tadi, meski hanya sebentar saja -saat jeda di antara adzan dan iqomat-, aku sempat berbincang, tanya-tanya kabar. Kita banyak berbagi informasi. Hal itu seperti membuka mata hatiku. Sekarang lebih terang.

Aku pernah baca karya Erich Fromm, seorang pemikir abad 20. Judulnya: Escape From Freedom (Keluar dari Kebebasan). Sebenarnya aku hanya sempat membaca ulasan seorang dosen sosiologi UI. Tapi dari ulasan itu saja, aku sudah bisa ambil manfaatnya.

Kata Fromm, manusia tidak dapat dipisahkan dari alam dan orang lain. Semakin bebas manusia semakin ia merasa kesepian, tidak berarti dan terasing. Kemudian, masih katanya juga, manusia menemukan rasa aman jika bersatu dan bekerja sama dengan orang lain. Yang aku heran, pernyataan Fromm tentang "semakin bebas, semakin sepi". Wah benar juga dia, ternyata tidak ada kebebasan sebebas-bebasnya seperti yang aku idamkan selama ini. Aku baru tersadar, selama ini aku salah menyikapi kebebasan itu.

Manusia selalu dirasuki rasa takut. Dan itu tidak mungkin dipadamkan. Rasa takut itu yang akan mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang. Tak mungkin ada yang mampu mengelak.

Sebagai contoh sederhana, kita ingin orang lain bertanggung jawab atas perbuatan kita yang notabene "salah". Jika situasi menakutkan dan terus mendesak maka ia akan mengorbankan kebebasannya untuk selamat.

Mengapa ada rasa takut? Aku ingat QS 2:155, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.". Jadi, menurutku, ketakutan memang sengaja disediakan Tuhan. Dan itu akan abadi. Kita hanya bisa meredamnya saja.

Bagaimana cara mengalahkan keterasingan itu? Aku mengambil kesimpulan bahwa kunci dari "perlawanan" kita terhadap ketakutan adalah dengan cara menggelar "pemberontakan" terhadap keterasingan.

Kesendirian hanyalah membuat jiwa kita dongkol. Merasa paling sial di dunia ini. Persahabatan/persaudaraan bisa jadi jalan keluar yang paling hebat untuk melawan ketakutan. Syaratnya adalah kebersatuan kita dengan manusia yang lain tetap tidak mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi.

Aku ingat salah satu syair tombo ati,"Berkumpulah dengan orang sholeh". Ini termasuk kunci yang diberikan Sunan Kalijaga dalam menghadapi keterasingan sekaligus ketakutan dalam jiwa kita.

Kemudian aku juga teringat sebuah doa, yang inti bunyinya seperti ini: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan duka. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut. Aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan manusia".

Mudah-mudahan, ketakutan itu mampu kita redam segera. Mari berlari dari kebebasan semu! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar