Saat masih kanak-kanak, aku punya seorang kawan baik. Andi namanya. Rumahnya di depan rumahku. Ayah-Ibunya adalah Ayah-Ibuku juga. Tapi kita tak lahir serahim lho.
Kemarin aku searching namanya. Wah, terkejut aku. Andi jadi anak band. Cita-citanya kesampaian. Aku senang melihatnya. Dulu, ia sempat bilang. "Gua pengen berkarir jadi musisi,". Aku cuma bisa mengaminkan.
Dulu, kita memang pernah ngeband bareng. Keluar-masuk studio bareng. Ketawa bareng. Nyemok bareng. Begadang bareng. Tapi, itu dulu. Sekarang kita susah ketemu. Aku di kota antah berantah, dia masih di rumahnya.
Kadang aku tidak sepakat. Hidup musisi terlalu keras. Aku tak kuat. Tapi dia kelihatan fine-fine saja. Nyaris ia terjerumus kehidupan sesat. Kehidupan bebas katanya. Yang seringkali melenakan. Dan diam-diam menikam dari belakang.
Jauh sebelum itu, kita menjalani masa kanak-kanak dengan normal. Kita pernah main engklek. Main petak umpet. Main polisi-polisian. Main bete tujuh. Main bisik-bisik kata. Bahkan main karet sama cewek-cewek.
Kejadian itu, jauh sebelum playstation menjamur. Memang tepat di masa Sega dan Nintendo beranjak populer. Tapi, mereka belum merebut hati kami. Kami lebih suka kumpul di tengah jalan. Malam-malam keliling komplek. Iseng ngerjain orang. Juga romansa yang absurd.
Saat itu, hari Sabtu dan Minggu benar-benar menjadi hari kemerdekaan bagi anak di komplek kami.
Aku ingin lagi ke sana. Ke masa-masa indah itu. Tapi bagaimana? Aku sudah 23 tahun. Sudah tak pantas. Walaupun sekedar mengenangnya. Umur itu terlalu produktif. Terlalu sayang dibuang. Ini bumi yang menuntut uang berlebih. Aku harus beranjak. Meraih hal selanjutnya.
Tapi tidak ada salahnya. Aku ingin ingat Andi. Juga kawan yang lain. Dua udo Angga yang Padang. Bagus yang setengah Belanda. Ray yang Batak. Endi yang Jawa banget. Rendy yang Betawi banget. Tomas yang paling jangkung. Bapaknya anak-anak. Mereka terlalu berharga.
Eh, Andi itu sama kecilnya dengan badanku lho. Kalau lagi berkelahi, seimbang. Kadang dia menang. Besoknya, gantian. Meski kadang luka-luka, paling tiga hari normal lagi. Yang paling aku ingat, kelingkingnya. Saat bersatu dengan kelingkingku. Lucu sekali ya. Perjanjian damai anak kecil, tak serumit Linggarjati. Cukup kelingking yang saling berlipat.
Dulu, saat hits pertandingan gulat WCW, kita tiru-tiru. Hasilnya? Sek, sek, sebentar, sebentar, aku menghitung dulu. Berapa kali ya, tangan kami keseleo? Kalau sudah gitu, kami bukannya dikasihani, tapi dimarahi habis-habisan. Ya, sama siapa lagi kalau bukan ibu kami. Memang menyusahkan ya kami ini!
Eh, ngomong-ngomong soal keseleo. Andi, waktu SD, pernah patah tulang. Tepatnya di tangan. Waktu itu kami main basket. Sudah tahu badannya kecil, Andi tetap memaksa bermain. Hasilnya apa? dia ditindih Angga yang lumayan gemuk. Tangannya patah. Dia nangis-nangis. Semua anak yang main basket, ketakutan setangah mati. Sejak itu, kami kapok bermain basket. Tapi, cerita bahagianya. Dengan kepatahan itu, Andi dapat hadiah. Sudah hal biasa, Ibu menghibur anaknya yang kesusahan. Hadiahnya spesial: Gitar.
Mungkin, kejadian ini yang paling banyak merubah hidup kami. Pertama, kami jadi lebih konsisten main bola sepak. Sebab, basket sudah "diharamkan". Kedua, satu persatu dari kami, beli gitar (karena iri), dan bisa bermain gitar. Aku termasuk awal. Sejak kelas satu SMP sudah pandai bergitar. Meski cuma hafal kunci mayor-minor saja.
Untuk masalah keseleo, bukannya berkurang, malah tambah banyak. Sepak bola ternyata lebih keras. Anak-anak kesetanan. Kerasukan jin Maradona. Bermain bola kayak orang gila. Gocek kanan-gocek kiri, bolanya ketinggalan. Bodi kanan-bodi kiri, orangnya mental semua. Dan aku pun pernah pingsan. Ditubruk buldoser.
Biasanya begini. Jadwal bermain kita sebenarnya berlangsung tiap malam. Cuma Malam Sabtu yang paling favorit. Penonton membludak. Maklum besoknya libur. Kita khusyuk di rumah. Ada banyak film kartun. Sore-sore saja keluar kandangnya.
Itu masa kecilku. Kini, aku tak bisa lagi menikmati. Aku sudah tua!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar