Rabu, 19 Oktober 2011

Ikhlas dari Anda, Halal buat kami

Aku bersahabat lama dengan bis kota. Sejak SMP, aku penggemarnya. Aku jatuh hati. Selain murah -malah kadang cuma-cuma- banyak cerita di sana. Banyak aroma tercium juga. Pokoknya, indah. Jauh lebih indah dari taksi premium.

Aziz-lah penjerumusnya. Sebenarnya Ibuku melarang. Sebab bis punya portofolio negatif. Rekam jejaknya muram. Bis, kata Ibuku, rumah dari kejahatan. Tempat berlindung maling, copet, rampok, dan orang-orang buangan lainnya.

Tapi aku nekat. Toh, Ibu kan tidak mengecek, aku naik apa hari ini. Yang penting selamat sampai rumah. Asal Ibu lihat aku baik-baik saja, tanpa perlu bilang, aku akan terus naik bis. Apalagi Aziz, sahabat baik ketika SMP, mendukung penuh. Ditambah Faisal, Teguh, Bari, dan banyak lagi. Kita sesama penggemar bis.

Aku harus berjalan, kira-kira 2 kilometer, untuk menuju halte bis. Capek sih. Tapi kalau ramai-ramai tidak terasa. Apalagi kami juga duduk sekelas, bahkan sebangku. Persahabatan kami mengesankan. Kadang, akhir pekan, kami pergi ke rumah Arif. Main Winning Eleven. 

Di bis kota, semua bisa terjadi. Kapasitas tempat duduk bisa diperbesar. Atap bisa dipakai. Ada one stop entertainment. Full musik, goyang bencong, penjual Mizone, transaksi narkoba atau rental lonte, kalau berminat.

Di hari lain, ada doa dari yayasan anak yatim, beserta sholawat badarnya. Kemudian ada dongeng lucu dari pengamen. Nyanyinya bikin perut sakit. Ngakak. Tapi minggu depan, bis bisa jadi ring tinju dadakan. Kalau beruntung, anda bisa lihat kaca bis luluh lantak dalam waktu 5 menit saja.

Wakdehel! Dunia yang aku pandang, tidak seideal bayanganku. Kata guru ngajiku, memang manusia dibagi dua. Ada yang baik, sisanya jahat. Tapi...ini terlalu vulgar. Shock.

Selama tiga tahun, akhirnya terbiasa juga. Toh, manusiawi. Aku jadi mengerti. Paham sepenuhnya. Ini tentang keragaman. Warna-warni kehidupan. Realita yang mengagumkan.

Namanya sisi manusiawi. Ada sisi hewani, tapi ada sisi syurgawi juga. Di balik kerasnya kehidupan, mereka masih punya perasaan. Masih mengerti keadaan. Dan, yang paling penting, mereka pandai berbagi pada sesama.   

Aku pernah dipalak. Wajah pemalak seram. Nama gaulnya "Ambon". Ia bawa belati. Diselipkan di pinggang. Aku memelas. Memohon-mohon. "Maap Bang, duit gua ngepas ni, tinggal gope-gopenya Bang. Kagak ada ongkos lagi.". Aku sudah pasrah. Dalam hati komat-kamit,"Innasholati wanusuki wamahyaya wa mamamati lillahirabbil 'alamin". Aku pasrah ya Tuhanku.

Anda tahu kejadian selanjutnya?

Ia rogoh saku bajunya. Dalam rogohannya. Dari saku, keluar uang: selembar hepeng goceng, selembar secengan lecek, dan dua butir gopean. Lalu ia lempar senyum. Matanya berubah ramah. "Kasian banget lu tong. Ini buat lo" katanya sambil tangannya menjulur ke tanganku. Akuu dikasih seceng! Haha. Lucky me!

Berandal-berandal itu memang sangar gayanya. Tapi kalau ada ibu-ibu atau orang tua yang tak dapat tempat duduk, mereka biasanya yang paling sigap berdiri. Bahkan, memaksa anak-anak muda lainnya, untuk segera berdiri. "Woy...bayar gopek, minta enak lo,". Toh, mereka tahu diri juga.

"Solidaritas bisa dibentuk atas dasar senasib-sepenanggungan."

Tapi, dari semua itu, aku paling suka dengar pengamen bernyanyi. Suaranya toh tidak kalah dengan peserta Indonesian Idol. Hebatnya, mereka -sekali tampil- bisa bawa segepok tembang. Sealbum dinyanyikan semua. Staminanya mantap. 

Sudah dihibur, kita didoakan pula. Di ujung lagu, mereka biasa berkata,"Ya...demikian beberapa tembang dari kami. Daripada nyopet, garong, ngerampok, mabok di jalan, lebih baik kami bernyanyi. Mohon maaf telah mengganggu perjalanan anda. Hati-hati dengan barang bawaan anda. jangan sampai tertinggal. Semoga selamat sampai tujuan."

Kemudian waktu mereka berkata dengan sopan, "Ikhlas dari anda, halal buat kami,", aku lekas tersenyum simpul. Dan aku serahkan uang gopek terakhirku pada pengamen itu. Dengan ikhlas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar