Selasa, 18 Oktober 2011

Ingin Pulang, Lupa Jalan

Pagi hari, aku pikul ransel. Berat tapi rasa hati senang. Soalnya, hari ini aku rekreasi. Sendirian tapi berkesan. Aku ingin pergi jauh. Sejauh-jauhnya. Aku hendak buang jauh-jauh kumpulan angka. Yang menjadi kawan dekatku setahun ini.

Setahun ini aku kerja sebagai insinyur. Sebenarnya sudah terbiasa pelototi angka. Tapi lama-lama muak juga. Masalahnya, angka-angka itu berlagak terlalu sombong. Seakan-akan aku hambanya. Dia tuhannya. Memangnya aku butuh dia? Tidak layaw...Sori ya, aku bisa hidup tanpamu, angka!

Kadang aku pikir, angka bisa jadi tuhan juga. Lho, bagaimana bisa? Ya, bisa saja. Uang kan berbentuk angka. Sekarang ini, berapa banyak orang yang tidak butuh uang? Hampir semua butuh uang. Kecuali yang masih merasa hidup di jaman batu. Nah, rasa butuh itu, bisa jadikan uang sebagai tuhan. Meski kasat mata. Samar-samar.

Setahun ini pula, diam-diam, aku jadi budak uang. Budaknya angka juga. Tapi angka tidak pernah tahu. Aku ngumpet-ngumpet soalnya. Di hadapan khalayak, aku merasa mandiri. Padahal? Aku menjerit juga kalau tidak ada angka di dompet.

Ya, hubungan kita ini, boleh dibilang..cinta bilang benci.

Perjalanan itu dimulai. Kemana tujuanku? Entahlah. Setahuku, ada sebuah idiom berkata, kalau kita berjalan lurus terus, maka kita akan kembali pada titik yang sama. Artinya, ya jalan saja lurus. Ikuti jalan besar. Pasti banyak hal menarik.

Aku jalan saja terus. Sedikit demi sedikit mulai menjauh. Kota kelahiranku tak nampak lagi. Dan aku menginjak kota baru sekarang. Rasanya senang kalau mencapai kota. Ramai di sana. Aku bisa cuci mata. Cuci hidung. Cuci mulut. Cuci baju juga.

Tapi, paling tidak menyenangkan, saat melintas antar kota. Hanya nampak alang-alang. Sepi. Sunyi. Hanya jangkrik saja penghuninya. Aku bisa dengar suaranya. Tapi kok seram ya...

Aku sampai lagi di sebuah kota. Aku tak begitu kenal. Ramai saja yang aku ingat. Paling heboh di taman kota. Banyak orang berkumpul, meski tidak ada agenda spesial. Tiap malam ramai. Tua-muda juga anak-anak, bercengkerama. Di balik keceriaan, ada juga kemesraan. Pokoknya lengkap.

Tapi aku heran, mengapa kota-kota sekarang sering sekali berpesta? Apa mereka sudah tidak punya masalah? Perasaan, rumah mereka masih reot. Di jalan-jalan masih ada pengemis. Di sudut gang, masih ada piring-piring rumah tangga yang berterbangan. Masih ada bocah ingusan yang bermain di sungai saat jam sekolah.

Tapi...ya sudahlah. Biar itu jadi hiburan mereka. Kan, nasib mereka juga sama denganku toh. Kita sama-sama sedang Menghibur diri. Dari himpitan masalah dan cekikan kehidupan.

Aku lanjutkan perjalanan. Seperti biasa, antar kota memang selalu sepi. Tapi kali ini, jalan jadi lebih panjang. Semakin gelap tak terlihat. Aku seperti masuk gua. Semakin ke dalam, semakin enggan cahaya masuk. Tapi aku menikmati saja perjalanan ini. Anggap saja untuk mengimbangi keramaian kota.

Keajegan akhirnya melahirkan kebosanan. Lama sekali jalan gelap ini ditempuh. Warna yang terlihat, hanya hitam. Pekat sekali. Jalanku makin lirih. Kakiku meraba untuk itu.

Aku pun berhenti. Sepertinya ini bukan jalan yang benar. Aku hendak berbalik. Kepalaku menoleh ke belakang. Dan pemandangan terlihat sama. "Ini black hole!" ujarku dalam hati.

Tapi aku malah terdiam setelah itu. Buntu.

Aku ingin pulang, tapi lupa jalannya.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar