Hari ini aku baca buku karangan Hamka. Ia tulis kisah hidup Jamaludin Al Afghani yang tersohor itu. Perjalanannya itu seperti sinetron. Tentu dengan alur yang ciamik. Mantap.
Sebelumnya aku pernah baca otobiografi Hatta. Aku pernah baca kisah tentang Syahrir. Juga tak ketinggalan, tentang Tan Malaka yang misterius itu. Kebetulan ketingganya berasal dari Minang. Suku yang tersohor sebab jiwa perantaunya itu.
Kenapa ya, aku begitu tertarik dengan orang-orang yang berjiwa perantau. Seakan-akan tantangan itu bukan lagi halangan. Halangan yang bikin bulu begidik. Takut setengah mati.
Tapi mereka tidak. Mereka punya visi tanpa batas. Dunia mereka tanpa tembok. Pandangan mereka lurus menusuk fatamorgana. Aku yakin, mereka layak menjadi orang besar. Oleh sebab daya tahannya yang luar biasa.
Lihat Al Afghani. Di setiap negeri yang ia kunjungi, namanya selalu harum. Ia memang besar di Afghanistan, tapi setelah dewasa ia mengembara. Mesir, India, Iran, serta negeri timur tengah lainnya. Tak hanya itu, ia pernah ke London, Paris, Muenchen, sampai St Petersburg. Ia bukan diplomat. Tapi ulama!
Bagaimana bisa, di abad 19, ia sudah keliling banyak negara untuk berdakwah. Agar jiwa-jiwa setiap muslim yang dikunjungi membara-bara. Seperti api disiram bensin.
Aku tak paham, bagaimana ia bisa menginspirasi hanya dengan 18 edisi majalah yang diterbitkan di Paris. Padahal kau tahu sendiri, Paris bukan kota yang ramah untuk sebuah kata: Tuhan.
Lain hal dengan Hatta dan Syahrir. Mereka jauh ke Belanda, memang buat studi. Tapi kala itu, mereka masih sangat belia. Berminggu-minggu arungi lautan untuk belajar. Kemudian setelah di sana, ia terlibat dalam aktivitas pergerakan. Membela Indonesia dari negeri jauh.
Tan lebih unik lagi. Selama 20 tahun, ia keliling puluhan negara. Tidak hanya Asia, bahkan Eropa. Ia pun sempat hadir mewakili bangsa Asia saat kongres Internasionale Kedua. Bisa dibilang, ia sejajar dengan "Father" Mao Zedong.
Aku pun semakin sering membaca biografi. Buku itu ibarat kawan seperjuangan si orang besar, yang datang ke rumahku, untuk sekedar ngeteh bareng dan bercerita banyak tentang kesan-kesannya terhadap pemimpin besar. Juga tentang kegigihannya, keberaniannya, kejantanannya, dan cita-citanya yang menjulang.
Aku mafhum kalau aku terasuki. Jiwaku panas dengan hentakan perjuangan. Kalah-menang, untung-rugi, ialah urusan belakang. Bahkan mati detik ini pun aku berani. Asal bersama mayatku, bersamayam panji-panji kebenaran yang aku yakini. Dulu, sekarang, dan yang akan datang.
Sebelumnya aku pernah baca otobiografi Hatta. Aku pernah baca kisah tentang Syahrir. Juga tak ketinggalan, tentang Tan Malaka yang misterius itu. Kebetulan ketingganya berasal dari Minang. Suku yang tersohor sebab jiwa perantaunya itu.
Kenapa ya, aku begitu tertarik dengan orang-orang yang berjiwa perantau. Seakan-akan tantangan itu bukan lagi halangan. Halangan yang bikin bulu begidik. Takut setengah mati.
Tapi mereka tidak. Mereka punya visi tanpa batas. Dunia mereka tanpa tembok. Pandangan mereka lurus menusuk fatamorgana. Aku yakin, mereka layak menjadi orang besar. Oleh sebab daya tahannya yang luar biasa.
Lihat Al Afghani. Di setiap negeri yang ia kunjungi, namanya selalu harum. Ia memang besar di Afghanistan, tapi setelah dewasa ia mengembara. Mesir, India, Iran, serta negeri timur tengah lainnya. Tak hanya itu, ia pernah ke London, Paris, Muenchen, sampai St Petersburg. Ia bukan diplomat. Tapi ulama!
Bagaimana bisa, di abad 19, ia sudah keliling banyak negara untuk berdakwah. Agar jiwa-jiwa setiap muslim yang dikunjungi membara-bara. Seperti api disiram bensin.
Aku tak paham, bagaimana ia bisa menginspirasi hanya dengan 18 edisi majalah yang diterbitkan di Paris. Padahal kau tahu sendiri, Paris bukan kota yang ramah untuk sebuah kata: Tuhan.
Lain hal dengan Hatta dan Syahrir. Mereka jauh ke Belanda, memang buat studi. Tapi kala itu, mereka masih sangat belia. Berminggu-minggu arungi lautan untuk belajar. Kemudian setelah di sana, ia terlibat dalam aktivitas pergerakan. Membela Indonesia dari negeri jauh.
Tan lebih unik lagi. Selama 20 tahun, ia keliling puluhan negara. Tidak hanya Asia, bahkan Eropa. Ia pun sempat hadir mewakili bangsa Asia saat kongres Internasionale Kedua. Bisa dibilang, ia sejajar dengan "Father" Mao Zedong.
Aku pun semakin sering membaca biografi. Buku itu ibarat kawan seperjuangan si orang besar, yang datang ke rumahku, untuk sekedar ngeteh bareng dan bercerita banyak tentang kesan-kesannya terhadap pemimpin besar. Juga tentang kegigihannya, keberaniannya, kejantanannya, dan cita-citanya yang menjulang.
Aku mafhum kalau aku terasuki. Jiwaku panas dengan hentakan perjuangan. Kalah-menang, untung-rugi, ialah urusan belakang. Bahkan mati detik ini pun aku berani. Asal bersama mayatku, bersamayam panji-panji kebenaran yang aku yakini. Dulu, sekarang, dan yang akan datang.