Senin, 31 Oktober 2011

Sang Pengembara

Hari ini aku baca buku karangan Hamka. Ia tulis kisah hidup Jamaludin Al Afghani yang tersohor itu. Perjalanannya itu seperti sinetron. Tentu dengan alur yang ciamik. Mantap.

Sebelumnya aku pernah baca otobiografi Hatta. Aku pernah baca kisah tentang Syahrir. Juga tak ketinggalan, tentang Tan Malaka yang misterius itu. Kebetulan ketingganya berasal dari Minang. Suku yang tersohor sebab jiwa perantaunya itu.

Kenapa ya, aku begitu tertarik dengan orang-orang yang berjiwa perantau. Seakan-akan tantangan itu bukan lagi halangan. Halangan yang bikin bulu begidik. Takut setengah mati.

Tapi mereka tidak. Mereka punya visi tanpa batas. Dunia mereka tanpa tembok. Pandangan mereka lurus menusuk fatamorgana. Aku yakin, mereka layak menjadi orang besar. Oleh sebab daya tahannya yang luar biasa.

Lihat Al Afghani. Di setiap negeri yang ia kunjungi, namanya selalu harum. Ia memang besar di Afghanistan, tapi setelah dewasa ia mengembara. Mesir, India, Iran, serta negeri timur tengah lainnya. Tak hanya itu, ia pernah ke London, Paris, Muenchen, sampai St Petersburg. Ia bukan diplomat. Tapi ulama!

Bagaimana bisa, di abad 19, ia sudah keliling banyak negara untuk berdakwah. Agar jiwa-jiwa setiap muslim yang dikunjungi membara-bara. Seperti api disiram bensin.

Aku tak paham, bagaimana ia bisa menginspirasi hanya dengan 18 edisi majalah yang diterbitkan di Paris. Padahal kau tahu sendiri, Paris bukan kota yang ramah untuk sebuah kata: Tuhan.

Lain hal dengan Hatta dan Syahrir. Mereka jauh ke Belanda, memang buat studi. Tapi kala itu, mereka masih sangat belia. Berminggu-minggu arungi lautan untuk belajar. Kemudian setelah di sana, ia terlibat dalam aktivitas pergerakan. Membela Indonesia dari negeri jauh.

Tan lebih unik lagi. Selama 20 tahun, ia keliling puluhan negara. Tidak hanya Asia, bahkan Eropa. Ia pun sempat hadir mewakili bangsa Asia saat kongres Internasionale Kedua. Bisa dibilang, ia sejajar dengan "Father" Mao Zedong.

Aku pun semakin sering membaca biografi. Buku itu ibarat kawan seperjuangan si orang besar, yang datang ke rumahku, untuk sekedar ngeteh bareng dan bercerita banyak tentang kesan-kesannya terhadap pemimpin besar. Juga tentang kegigihannya, keberaniannya, kejantanannya, dan cita-citanya yang menjulang.

Aku mafhum kalau aku terasuki. Jiwaku panas dengan hentakan perjuangan. Kalah-menang, untung-rugi, ialah urusan belakang. Bahkan mati detik ini pun aku berani. Asal bersama mayatku, bersamayam panji-panji kebenaran yang aku yakini. Dulu, sekarang, dan yang akan datang.



Minggu, 30 Oktober 2011

Escape From Freedom

Hari ini aku pinjam buku bagus. Catatan hariannya Ahmad Wahib. Padahal 9 bulan sebelumnya aku sudah pinjam buku ini. Tapi, aku kepingin lagi membaca. Aku suka buku ini, sebab isinya reflektif sekaligus ekspresif. Aku bisa baca kegalauannya dengan jelas. Mungkin, buku itu adalah "kawan" Wahib dari keterasingannya.

Hari ini aku ketemu sahabat perjuanganku dulu di kajian. Sudah hampir sebulan kita tidak bertemu. Tadi, meski hanya sebentar saja -saat jeda di antara adzan dan iqomat-, aku sempat berbincang, tanya-tanya kabar. Kita banyak berbagi informasi. Hal itu seperti membuka mata hatiku. Sekarang lebih terang.

Aku pernah baca karya Erich Fromm, seorang pemikir abad 20. Judulnya: Escape From Freedom (Keluar dari Kebebasan). Sebenarnya aku hanya sempat membaca ulasan seorang dosen sosiologi UI. Tapi dari ulasan itu saja, aku sudah bisa ambil manfaatnya.

Kata Fromm, manusia tidak dapat dipisahkan dari alam dan orang lain. Semakin bebas manusia semakin ia merasa kesepian, tidak berarti dan terasing. Kemudian, masih katanya juga, manusia menemukan rasa aman jika bersatu dan bekerja sama dengan orang lain. Yang aku heran, pernyataan Fromm tentang "semakin bebas, semakin sepi". Wah benar juga dia, ternyata tidak ada kebebasan sebebas-bebasnya seperti yang aku idamkan selama ini. Aku baru tersadar, selama ini aku salah menyikapi kebebasan itu.

Manusia selalu dirasuki rasa takut. Dan itu tidak mungkin dipadamkan. Rasa takut itu yang akan mempengaruhi kondisi kejiwaan seseorang. Tak mungkin ada yang mampu mengelak.

Sebagai contoh sederhana, kita ingin orang lain bertanggung jawab atas perbuatan kita yang notabene "salah". Jika situasi menakutkan dan terus mendesak maka ia akan mengorbankan kebebasannya untuk selamat.

Mengapa ada rasa takut? Aku ingat QS 2:155, "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.". Jadi, menurutku, ketakutan memang sengaja disediakan Tuhan. Dan itu akan abadi. Kita hanya bisa meredamnya saja.

Bagaimana cara mengalahkan keterasingan itu? Aku mengambil kesimpulan bahwa kunci dari "perlawanan" kita terhadap ketakutan adalah dengan cara menggelar "pemberontakan" terhadap keterasingan.

Kesendirian hanyalah membuat jiwa kita dongkol. Merasa paling sial di dunia ini. Persahabatan/persaudaraan bisa jadi jalan keluar yang paling hebat untuk melawan ketakutan. Syaratnya adalah kebersatuan kita dengan manusia yang lain tetap tidak mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi.

Aku ingat salah satu syair tombo ati,"Berkumpulah dengan orang sholeh". Ini termasuk kunci yang diberikan Sunan Kalijaga dalam menghadapi keterasingan sekaligus ketakutan dalam jiwa kita.

Kemudian aku juga teringat sebuah doa, yang inti bunyinya seperti ini: "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari rundungan sedih dan duka. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas. Aku berlindung kepada-Mu dari sifat kikir dan penakut. Aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang dan penindasan manusia".

Mudah-mudahan, ketakutan itu mampu kita redam segera. Mari berlari dari kebebasan semu! 

Love's Still Blind: "Cinta selalu membutuhkan tongkat penuntun"

Benar kata Kahlil Gibran. Cinta tidak terdefinisi. Hanya rasa yang muncul kemudian. Itu pula tidak bisa dirasa orang lain. Hanya kita sendiri yang merasa.

Kamu tahu kenapa aku tulis ini?
Aku sedang jatuh cinta, Sob!
Tepatnya, cinta bersemi kembali.

Kira-kira cinta kami berlangsung sejak tahun 1996. Kala itu, kita bertemu di sekolah dasar. Kita menjalin kasih saat yang lain juga melakukannya. Tak tahu apa sebabnya, aku jatuh hati padamu. Yang pasti, warna gaunmu mengingatkanku pada pada keindahan langit.

Aku lihat di dadamu tersemat sebuah sepuhan apik bergambar Elang, lambang kegagahan. Aku semakin kagum.

Sekarang kau berada di peringkat tiga besar. Sepertinya juara bukan lagi mimpi. Ingatlah, 10 tahun lalu, kita bersorak ramai di Olimpico. Banjir biru langit.

Aku tahu kamu bukan orang kaya. Tak ada yang mentereng di tubuh kita. Tapi, justru, kita ingin buktikan pada dunia. Kita bisa, tanpa perlu menjadi Madrid atau City.

Aku akan terus jadi pecintamu. 15 tahun lamanya. Meski kau sempat (hampir) didegradasi karena Calciopoli, kesetiaanku sama seperti kesetiaan kawanku, pasukan La Vecchia Signora. Meski aku tak lagi mengenalmu intim. Meski kau tak sekaya dan seglamour dulu. Meski penampilanmu biasa-biasa saja, tak ada lagi galeri piala yang bertambah. Aku akan tetap setia.

***
Sementara di lain tanah, dalam umur percintaan yang relatif selisih sedikit, aku merasa bahwa nasibmu tak jauh beda.

Hatrick Van Persie ke gawang salah satu bebuyutan kita, sudah cukup jadi bukti kalau kita akan meraih kebahagiaan setelah bertahun-tahun kita paceklik.

Aku pun tak berniat berkonversi, pindah ke lain klub yang lebih mentereng. Meski tak ada sorak-sorai lagi di markas kita. Bahkan, ribuan talenta boleh saja keluar-masuk, tapi semangat itu tidak pernah luput. Aku tetap setia di bawah meriam. Yang siap menggempur dengan peluru-peluru muda. Meski kau jarang beri kami sebuah mahkota. Namanya setia, tetaplah setia.

Insya Allah, kesetiaan penuh adalah satu-satunya mutiara yang masih aku miliki. Yang hanya bisa kuberikan pada hal yang tertentu. Yang aku pegang teguh dalam setiap langkahku. Sebagai wujud besarnya rasa sayang itu. Termasuk kepadamu.

Semoga kesetiaan selalu tersemai dalam dadaku!

Jumat, 28 Oktober 2011

Cobaan Apa Lagi yang Kau Berikan?

Seharian ini, aku kutak-katik komputer. Bukan lagi service. Tapi lagi belajar Corel. Sebenarnya, aku pernah belajar. Tapi lupa. Dulu banget. Jaman-jaman ane masih kesohor sebagai desainer kenamaan. Bersanding dengan nama Ajie Notonegoro dan Ivan Gunawan.

"Eh bok, rempong cyiinnn..."

Aku ingin selesaikan satu zine baru. Yang aku tulis sendiri. Yang aku desain sendiri. Yang aku edit sendiri. Dan aku cetak sendiri.

Tapi, waktu seminggu serasa tidak cukup. Sekarang saja sudah jam berapa. Tengah malam!

Aku masih stag. Belum tahu mulai dari mana. Masya Allah, aku kok pikun gini. Tapi kita tak boleh menyerah. Aku harus menyelesaikan.

"Ya Allah Ya Tuhanku, aku memohon dengan setulus hati. Hanya satu permintaan, tidak lebih. Tolong turunkan malaikat-Mu yang paling jago Corel. Aku ingin belajar privat sama dia."



Ayo Begadang cyinnn...
Tidur abis subuh aja ya...

Dasar, Kakak yang Egois!

Kemarin aku sms adikku. Eh, kamu tahu nggak apa balasan dari dia. "Tumben kak, sms adek..,"

Sial banget kan ni bocah. Belom pernah makan sandal jepit kali ya...

Tapi setelah aku pikir-pikir, aku memang salah. Aku memang jarang kontak orang rumah. Nggak tau nih. Semenjak pisah atap, aku seperti itik kehilangan induknya. Merasa sok mandiri. Tapi kalau duit abis, kecut juga muka gua. Muka pengemis nggak tahu diri.

Masya Allah, tobat bang...

Ya, anggap saja tulisan ini bentuk pengakuan dosa. Maafin aku ya dek. Kakak emang sok sibuk. Padahal sih nggak. Kakak aja yang rada apatis. Kakak khilaf. Kamu mau maafin kakak kan dek? 

Kakak janji deh. Ke depannya, kakak akan rajin-rajin sms kamu.

Kalau kakak inget.
:D

Kamis, 27 Oktober 2011

Coba Hentikan!

Saat kau terperangkap dalam lubang hitam yang kelam; Di saat itu pula kau tak mampu bertahan; Merasakan segala kemaksiatan; Di kala kau dapatkan; Segalanya.

Aku suka lagu "Saatnya Hijrah" dari Ketapel Jihad. Lagu itu nusuk banget. Kenapa ya, aku kok langsung jatuh hati sejak pertama kali dengar. Apalagi pas vokalisnya melengking berkata,"Coba Hentiiikkaaannn...!".

Lagu ini bernafas melodic punk. Yah, sebangsa Blink 182, Greenday, SUM 41, dan ST 12. Nahloh, ngapain tuh ST 12 ikut-ikut?

Pokoknya, intinya, dan poin utamanya adalah aku suka lagu ini. Selain liriknya bagus, aransemennya juga ciamik. Aku suka. Aku suka. Hore!

Simoncelli, Kok Kamu Duluan Sih?!

Hatiku gundah gulana. Minggu kemarin Simoncelli, pembalap harapanku, tewas mengenaskan. Meski sedih, aku sempat dihibur Old Trafford. Yes, MU kalah! Alhamdu...lillahh...

Tapi, malam tadi, kembali gundah. Aku teringat lagi Supersic. Aku ingat cara matinya. Kenapa kamu paksakan untuk bangun Sic? Kau tahu mau rubuh. Masih maksa aja...

Tapi, aku kagum sama kamu. Kamu itu pahlawanku Sic. Kamu bisa membikin adrenalinku berontak. Kamu bisa bikin akalku melayang. Sikapmu bikin aku tertawa. Agresifitasmu bikin aku bergairah. Ahhh...

Sic, aku tahu kamu orang baik. Meski Pedrosa, Lorenzo, Stoner, benci abis sama kamu, kamu toh tetap berbaik hati. Kamu masih mau salaman minta maap sama Pedrosa. Meski Pedrosa melengos. Kamu dengan jantan mengakui kesalahan di depan banyak orang, pas Lorenzo mengumpat cara balapmu. Kamu masih bisa senyum, meski badan berdarah-darah, habis jatuh. Kamu masih nekat bangun setelah guling-guling keluar lintasan.

Aku sepakat sama yang lain. Kamu itu jelas titisan Rossi. Rossi dulu juga agresif. Sudah berapa orang jadi korbannya. Mereka jengkel. Tapi Rossi tenang-tenang aja. Kamu itu, bermental juara Sic!

Aku ingat pas Rossi ngadalin Gibernau. Sama kayak kamu pas ngadalin Pedrosa. Intinya, persetanlah dengan perkataan orang. Kamu harus tutup kuping. Ingat, bukan hanya pembencimu, pendukungmu juga banyak kok. Bahkan jauh lebih banyak.

Mangkannya Sic, ente nyantai aja dah. Gua kan pendukung setia lu. Lu harus bangga dong. Soalnya, dukungan gua itu mahal harganya. Nurdin Halid aja, yang sujud-sujud minta dukungan gua pas lagi diserang banyak orang, gua ludahin mukanya.

Enak aja, masak minta doa gua, dia cuma bayar 2 milyar. SBY aja, sambil ngemis-ngemis ke rumah gua, bayar 10 milyar. Tunai beserta seperangkat alat sholat. Lho?!?

Nah, gua dukung lu Sic, Gratis! Yah, paling gua minta oleh-oleh dari Itali aja kalo ente ke Indonesia.

Aduh, kok ngelantur sih.

Tapi, sumpah Sic, pas ane lihat di TV, sepulang dari kampus, ane sedih gan. Ente lapor ane gan, siapa yang ngisengin ente? Sebut nama ane tiga kali, ane dateng gan.

Soal helm ente yang lepas. Menurut ane, itu gara-gara ente gak mematuhi peraturan Pak Polantas. Kata Pak'e, "Make helm harus sampai bunyi 'klik". Wah, padahal helm ente AGV. Mahal tuh boy. Jaman ane SMA, tuh helm kisaran 500 rebu. Masak bisa lepas sih?

Oh iya, iya, ane inget. Rambut ente yang bermasalah. Kamu gak pernah sekolah ya? Kalo kamu sekolah di Indonesia, rambut kayak kamu itu akan dicukur habis sama guru BP. Besok-besok, rambut ente potong ya gan. Kalau nggak punya duit, bilang ane. Paling mahal ceban doang gan.

Kalau ane boleh prediksi, kayaknya ban ente bocor, makannya motor ente oleng. Besok-besok, kalau nambah angin, deket rumah ane aja Sic. Ane kenal sama tukang tambal bannya. Profesional dia.

Ya, tapi percuma juga ane nasehatin ente. Ente sudah pergi. Jauh sekali. Ane kangen ente gan.

Moncel...Kok lu duluan sih matinya! Kan kita sudah janjian, mau barengan. Ente lupa gan?

Tuh kan, air mata gua netes gan. Gua kehilanganlu. Sangat!

Jumat, 21 Oktober 2011

Siapa Lagi?

Siapa lagi? Yang siap sedia menghadap Gusti pada tengah malam buta.

Siapa lagi? Yang gemericik wudhunya membangunkan mimpi penghuni indah rumah.

Siapa lagi? Yang melipat kelambu saat cuaca masih dingin menggigil.

Siapa lagi? Yang bisa meneteskan mata berlama-lama membungkuk.

Siapa lagi? Yang selalu menyesal setengah mati bila bangun "kesiangan" sedikit

Siapa lagi? Yang pantang tidur kembali selepas ibadah yang melelahkan itu

Siapa lagi? Yang memohonkan ampun pada tiap turunannya, ada tiap ahli kuburnya, pada tiap sahabat-sahabatnya

Jikalau umur yang memaksamu begitu tentu perkara itu bisa jadi biasa. Tapi kau lakukan sejak muda. Bahkan malaikat pun dibuat malu

Adakah makhluk sebegitu tekunnya? Meski Tuhan tidak berpihak pada kebugarannya. Bukankah kekasih Tuhan berhak dapat itu?

Siapa lagi?

Tidurmu kini, tidak lagi dibaluri doa. Rumahmu sekarang berhenti dari lalu-lalang malaikat.

Siapa lagi yang mau meneruskan?
Janganlah kita saling menoleh lempar telunjuk.

Kamis, 20 Oktober 2011

Genderang Perang

Hari ini, genderang dibunyikan. Tiap moncong peluru menghadap ke udara. Tadi pagi, ada kontak senjata. Itu pertama kalinya. Ketegangan ini diperkirakan berlangsung lama.

Ini perang antara aku dan seorang berpengaruh. Perang yang tak imbang. Tapi dipaksakan naik pentas. Aku, David,akan melawan Goliath. Batu melawan pentungan. Tapi, aku telaah lagi, nyatanya lebih parah dari itu. Perang ini: tangan kosong melawan F 16.

Aku sadar, nasibku ada di tangan dia. Sebegitu pengaruhnya menurutku. Setidaknya, kalau tuhan -dianggap- tidak ada.

Dia bisa membuat masa depanku pupus. Cita-citaku terbang jauh, tak kembali lagi. Juga tak segan memakan keringkihan umurku. Bayangkan saja, penjajahan ini sudah setahun. Tanpa masa depan jelas. Tanpa harapan yang bisa buat bersandar.

Sebegitu hebatkah dia?
Ah, tidak juga.

Seminggu kemarin aku menggelar makar. Aku belum tahu hasilnya. Yang pasti, menurut penerawanganku, ia marah besar. Dan posisiku sekarang di atas angin.

Kudeta ini menggembirakan. Aku lega. Perasaanku plong. Ganjalan tidak ada lagi. Walaupun inti masalahnya jauh dari kata selesai. Aku merasa telah memecahkan sebongkah batu besar. Batu yang menghalangi perjalanku selama ini.

Apakah aku salah dalam hal ini?
Ah, tidak juga.

Aku tipe seorang reaktif. Tidak akan memulai, sebelum yang lain memulai. Kata orang Betawi, "Lu jual, gua beli". Aku menunggu pejual. Baru aku beli. Kalau tidak ada. Apa aku harus mengada-ada?

Aku yakin, posisiku benar. Dia salah. Apa salahnya? Dia memaksaku melakukan hal yang tak kusenangi. Memang sih, dunia ini tidak seperti taman bermain. Tidak semua hal bisa kita suka. Tapi, ini sudah parah. Dia berusaha mengalihkanku. Membelokan jalan hidupku. Mempengaruhiku untuk terjun ke jurang.

Awalnya, ada rasa takut. Setahun terakhir, aku menurut saja. Patuh. Menyembah. Lempar senyum manis sampai gigi kering. Aku tidak lebih seperti sapi dicocok hidungnya. Harga diriku terpaksa aku jual. Murah meriah. Diskon big sale.

Minggu kemarin, kulminasi. Aku tak tahan. Pertama, aku boikot. Diam-diam aku rencanakan aksi. Aku sedang perkuat amunisi. Tidak cukup satu, seribu magazin aku butuh.

Kemudian, aku mulai membangkang. Menolak menjalankan tugas. Aku tahu, ini pahit. Tapi baru ini yang bisa kulakukan. Aku belum berani teriak. Amendelku pendek. Pita suaraku masih basah berlendir. Tidak terang benderang, seperti orator lain.

Pagi ini, perang dimulai. Aku kehabisan amunisi. Mulai hari ini, aku buka front gerilya di tapal batas. Kita pakai hit and run. Itulah satu-satunya jalan keluar. Pasukan miskin senjata, mesti pintar irit-irit peluru.

Aku punya satu pengharap. Ia yang akan beri aku "peluru pamungkas". Memang tidak berbentuk lancip. Tapi ia jauh lebih tajam. Peluru itu, berbentuk ikrar, keyakina yang menghujam. Antara aku dan Pembelaku. Isinya begini:

"Pembelaku, singkirkanlah rasa takut dan sedih dari nuraniku. Hapuskan rasa sempit dan pelit dari akal sehatku. Hadapkan aku pada manusia paling sombong dan kuat sekalipun, maka aku akan melawan asal Kau bersamaku,"

**
Nanti, kapan-kapan, aku kirim surat wasiat terakhirku padamu. AKu belum yakin siapa pemenangnya. Aku bisa menang, juga kemungkinan besar kalah. Surat itu, jaga-jaga, jikalau aku mati nanti. Supaya orang lain bisa lihat. Siapa-siapa saja orang yang rela mati, demi harga diri.      

Rabu, 19 Oktober 2011

Ikhlas dari Anda, Halal buat kami

Aku bersahabat lama dengan bis kota. Sejak SMP, aku penggemarnya. Aku jatuh hati. Selain murah -malah kadang cuma-cuma- banyak cerita di sana. Banyak aroma tercium juga. Pokoknya, indah. Jauh lebih indah dari taksi premium.

Aziz-lah penjerumusnya. Sebenarnya Ibuku melarang. Sebab bis punya portofolio negatif. Rekam jejaknya muram. Bis, kata Ibuku, rumah dari kejahatan. Tempat berlindung maling, copet, rampok, dan orang-orang buangan lainnya.

Tapi aku nekat. Toh, Ibu kan tidak mengecek, aku naik apa hari ini. Yang penting selamat sampai rumah. Asal Ibu lihat aku baik-baik saja, tanpa perlu bilang, aku akan terus naik bis. Apalagi Aziz, sahabat baik ketika SMP, mendukung penuh. Ditambah Faisal, Teguh, Bari, dan banyak lagi. Kita sesama penggemar bis.

Aku harus berjalan, kira-kira 2 kilometer, untuk menuju halte bis. Capek sih. Tapi kalau ramai-ramai tidak terasa. Apalagi kami juga duduk sekelas, bahkan sebangku. Persahabatan kami mengesankan. Kadang, akhir pekan, kami pergi ke rumah Arif. Main Winning Eleven. 

Di bis kota, semua bisa terjadi. Kapasitas tempat duduk bisa diperbesar. Atap bisa dipakai. Ada one stop entertainment. Full musik, goyang bencong, penjual Mizone, transaksi narkoba atau rental lonte, kalau berminat.

Di hari lain, ada doa dari yayasan anak yatim, beserta sholawat badarnya. Kemudian ada dongeng lucu dari pengamen. Nyanyinya bikin perut sakit. Ngakak. Tapi minggu depan, bis bisa jadi ring tinju dadakan. Kalau beruntung, anda bisa lihat kaca bis luluh lantak dalam waktu 5 menit saja.

Wakdehel! Dunia yang aku pandang, tidak seideal bayanganku. Kata guru ngajiku, memang manusia dibagi dua. Ada yang baik, sisanya jahat. Tapi...ini terlalu vulgar. Shock.

Selama tiga tahun, akhirnya terbiasa juga. Toh, manusiawi. Aku jadi mengerti. Paham sepenuhnya. Ini tentang keragaman. Warna-warni kehidupan. Realita yang mengagumkan.

Namanya sisi manusiawi. Ada sisi hewani, tapi ada sisi syurgawi juga. Di balik kerasnya kehidupan, mereka masih punya perasaan. Masih mengerti keadaan. Dan, yang paling penting, mereka pandai berbagi pada sesama.   

Aku pernah dipalak. Wajah pemalak seram. Nama gaulnya "Ambon". Ia bawa belati. Diselipkan di pinggang. Aku memelas. Memohon-mohon. "Maap Bang, duit gua ngepas ni, tinggal gope-gopenya Bang. Kagak ada ongkos lagi.". Aku sudah pasrah. Dalam hati komat-kamit,"Innasholati wanusuki wamahyaya wa mamamati lillahirabbil 'alamin". Aku pasrah ya Tuhanku.

Anda tahu kejadian selanjutnya?

Ia rogoh saku bajunya. Dalam rogohannya. Dari saku, keluar uang: selembar hepeng goceng, selembar secengan lecek, dan dua butir gopean. Lalu ia lempar senyum. Matanya berubah ramah. "Kasian banget lu tong. Ini buat lo" katanya sambil tangannya menjulur ke tanganku. Akuu dikasih seceng! Haha. Lucky me!

Berandal-berandal itu memang sangar gayanya. Tapi kalau ada ibu-ibu atau orang tua yang tak dapat tempat duduk, mereka biasanya yang paling sigap berdiri. Bahkan, memaksa anak-anak muda lainnya, untuk segera berdiri. "Woy...bayar gopek, minta enak lo,". Toh, mereka tahu diri juga.

"Solidaritas bisa dibentuk atas dasar senasib-sepenanggungan."

Tapi, dari semua itu, aku paling suka dengar pengamen bernyanyi. Suaranya toh tidak kalah dengan peserta Indonesian Idol. Hebatnya, mereka -sekali tampil- bisa bawa segepok tembang. Sealbum dinyanyikan semua. Staminanya mantap. 

Sudah dihibur, kita didoakan pula. Di ujung lagu, mereka biasa berkata,"Ya...demikian beberapa tembang dari kami. Daripada nyopet, garong, ngerampok, mabok di jalan, lebih baik kami bernyanyi. Mohon maaf telah mengganggu perjalanan anda. Hati-hati dengan barang bawaan anda. jangan sampai tertinggal. Semoga selamat sampai tujuan."

Kemudian waktu mereka berkata dengan sopan, "Ikhlas dari anda, halal buat kami,", aku lekas tersenyum simpul. Dan aku serahkan uang gopek terakhirku pada pengamen itu. Dengan ikhlas.

Selasa, 18 Oktober 2011

Intifada

Rama, adik temanku, cerita banyak hal. Dia baru saja jadi mahasiswa. Maklumlah kalau gayanya masih anak SMA. Suatu hari kita ketemu, ia banyak cerita tentang masa SMA-nya. Eh, bukan ding. Masa STM-nya.

Kisahnya sama seperti kisah yang aku dengar dulu. Dulu sekali, jaman sekolah berseragam. Masa-masa anak muda lagi belagu-belagunya. Masa pencarian jati diri, kata istilah psikologi.

Gengsi. Bisa jadi akar permasalahan. Kadang penindasan dimulai dari kata...ya itu tadi. Gengsi. Apalagi di hati remaja. Gengsi itu harga mati. Gengsi berarti harga diri. Bahkan juga berarti nyawa dan jiwa kita. Jadi, tidak ada kehidupan, tanpa gengsi.

Gengsi itulah yang mengawali kisah Rama. Terutama kisahnya yang picisan. Tentang heroisme. Di atas batu-batu yang berterbangan. Dalam kehanyutan suasana perang yang mereka namakan tawuran. Seru memang. Tapi aku sudah bosan mendengarnya.  

Tiap malam minggu, aku dengar cerita itu. Di pojokan gang, dari mulut kawan-kawanku sendiri. Jujur aku menikmatinya. Semua isi pembicaraan sangat menarik. Cerita mereka beragam sisi. Tentang Keberanian yang menonjol. Loyalitas yang mengakar. Solidaritas yang rapat. Kisah itu bak ksatria samurai. Dan, kebetulan, mereka memang "samurai-samurai" yang handal.

Cerita itu mengena. Pengalaman terakhir pulang kampung, bis yang aku tumpangi "disambangi". Sebuah golok terbang ke jendela. Di baliknya ada seorang Ibu. Ia langsung menjerit, histeris, sulit ditenangkan. Supir bis spot jantung. Kenek teriak "tarik yang kenceng lai!". Penumpang terkencing-kencing.

Aku kira, tahun-tahun berlalu, batu-batu itu sudah berhenti terbang. Sayapnya sudah layu. Tapi tidak. Benar kata Rama. Tawuran akan tetap abadi. Sampai Menteri Pendidikan mati. Dan, sampai sekolah-sekolah dibubarkan. Berarti, sama saja sampai Indonesia bangkrut.

Aku suka terkenang kalau mendengar istilah di kalangan mereka. Mereka sendiri menyebut tawuran dengan kata "tempur". Bagi yang mati, akan dijadikan pahlawan. Dikunjungi kuburannya setiap tahun oleh para juniornya. Ini benar. Aku tidak bohong. Pertempuran itu sering menjatuhkan korban. Jangankan luka, multilasi saja ada.

Mereka mengenal penculikan. Banyak dari penculikan yang tak kembali. Tapi ada juga perjanjian "pertukaran tawanan". Mereka kenal juga dengan prinsip-prinsip intelijen. Memata-matai adalah langkah awal sebelum pertempuran.

Mereka sebut polisi dengan kata "polis". Seperti dialek melayu saja. Ngakunya, mereka tidak takut polis. Tapi kalau ada sirine bunyi, mereka terbirit-birit. Haha. Biasanya, setelah tertangkap, rambut botak. Kapokkah mereka? Wih,semakin sering ditangkap, semakin bangga.

Tentang "persenjataan", mereka punya istilah lagi. Ada CR, BR, SM, Beceng, Gir, Kopel, Ekor Pari, dan banyak lagi. Yang paling ditakuti, cuma beceng. Jarang ada yang punya. Sekalinya punya bisa naik kasta. Dan, yang paling legendaris adalah...Batu.

Tapi memang, sebagian besar dari mereka, anggap ini hiburan saja. Itung-itung tes nyali. Tes "keselonan". Posisi panglima pastilah mereka yang paling "selon". Tidak mesti badan kekar, bahkan sering panglima boncel kurus kering.

Ya...pertempuran itu memang tidak ada yang penting. Apalagi aku cuma pengamat. Paling-paling, aku jadi "Sie Doa Bersama" kalau ada pertempuran. Doa penuh cemas, kekhawatiran, dan sedikit ketakutan.

Aku pikir ini wajar. Resiko sebagai kota besar. New York, London, Paris, juga menyimpan hal yang sama. Bara panas yang siap membakar sudut-sudut ketidakadilan. Lihat saja sejarah mereka. Dari sana api mengebul pertama kali. Jarkarta turut terindikasi. Terutama pemudanya. Yang nganggur. Yang frustasi. Yang mau gantung diri.

Dan, saat awang-awangku kembali, aku melihat Rama masih cerocos bercerita. Aku tersenyum sambil mengangguk, tanda atensi. Setiap kali ia bilang "tawuran" aku selalu teringat sebuah lirik.

"Anak anak sekolah berangkat untuk tawuran. Berbekal poster Madona dan mimpi kura-kura ninja. Mereka susuri jalan-jalan masa depan. Penuh ancaman dan topeng-topeng kemunafikan"

Saat ia capai bercerita, aku masih dalam senyum lamunan. Hatiku berkata, ternyata batu juga punya suara lantang. Dalam diam, ia mewakili pemberontakan. Sayapnya mengepakkan pembangkangan terhadap kuasa penindasan. Sekaligus perampasan kembali hak-hak yang telah dirampas. Kenangan masa-masa indah -dulu, sekarang dan akan datang, dinobatkan pada kerikil. Yang tetap bergeming. Meski semua mata beralih padanya.      

Pinta

Yang kutunggu hari ini, cuma malam. Sebenarnya bukan hanya hari ini. Malah setiap hari. Aku tunggu malam. Malam yang pergi. Malam yang dihinggapi pertanyaan. Tentang kesunyian. Tentang nyanyi-nyanyi harap dari balik sajadah. Dan seputar tangis-tangis menyembah dari jasad yang terpaku.

Tapi aku selalu kesiangan. Bukan karena kokok ayam, embik kambing, atau kicau burung. Tapi teriakan bising tukang sayur. Aku bangun terlalu terik. Matahari panas. Selimutku tak mempan. Baru aku bisa bangun sempurna.

Dasar kerbau!

Kenapa ada orang yang mampu tidur sedikit. Kenapa aku masuk bagian kerbau. Padahal kalau disuruh memilih, aku ingin sedikit tidur. Tapi, permohonan ini tak pernah lulus. Aku selalu kesiangan. Bukan hanya kesiangan. Bahkan kesorean.

Aduh, aduh, kenapa ini? Aku kok jadi pemalas. Bukannya aku dulu jawara semangat. Orang yang paling terakhir rubuh. Yang paling suka berluka-luka. Yang paling hebat dentuman gertakannya. Yang paling basah keringatnya. Yang paling hitam kulitnya. Lho?? Apa hubungannya. Hitam kan takdir.

Aku selalu minta itu. Pintaku sedikit ya Tuhanku. Tapi kenapa Engkau pelit sekali. Aku kan tidak minta mercy. Aku juga tidak minta jabatan. Aku tidak minta dikenal orang. Aku tidak minta disegani orang. Aku tidak minta jadi manusia paling cerdik pandai. Aku cuma minta tidurku dikurangi. Itu saja. Titik.

Apa pinta ini terlalu berat bagi-Mu?

Tunggu dulu deh. Perasaan, Kau pernah bilang kalau Kau pengabul segala doa?

Dari kejauhan ada suara menjawab sayup-sayup. "Tapi aku hanya mengabulkan doa orang yang bersih jiwanya,".

"Maksud-Mu, aku terlalu cela di hadapan-Mu? Aku masih terlalu 'kotor' untuk menghadap-Mu? Bukannya Kau pengampun segala dosa? Aku tiap hari memohon ampunan-Mu Ya Tuhanku..."

"Tidak segampang itu anak muda.."

"Lalu apa lagi?"

"Kalau kau yakin, Aku adalah pengabul doamu, Aku adalah pengampun dosamu, kenapa kamu tidak yakin kalau aku juga pembatal segala takdirmu?"

"Maksud-Mu?"

"Tadinya Aku hendak mengabulkan doamu. Juga menghapus dosamu. Tapi satu kekuranganmu,"

"Apa itu Ya Tuhanku?"

"Kau masih menduakan Aku,"

Ingin Pulang, Lupa Jalan

Pagi hari, aku pikul ransel. Berat tapi rasa hati senang. Soalnya, hari ini aku rekreasi. Sendirian tapi berkesan. Aku ingin pergi jauh. Sejauh-jauhnya. Aku hendak buang jauh-jauh kumpulan angka. Yang menjadi kawan dekatku setahun ini.

Setahun ini aku kerja sebagai insinyur. Sebenarnya sudah terbiasa pelototi angka. Tapi lama-lama muak juga. Masalahnya, angka-angka itu berlagak terlalu sombong. Seakan-akan aku hambanya. Dia tuhannya. Memangnya aku butuh dia? Tidak layaw...Sori ya, aku bisa hidup tanpamu, angka!

Kadang aku pikir, angka bisa jadi tuhan juga. Lho, bagaimana bisa? Ya, bisa saja. Uang kan berbentuk angka. Sekarang ini, berapa banyak orang yang tidak butuh uang? Hampir semua butuh uang. Kecuali yang masih merasa hidup di jaman batu. Nah, rasa butuh itu, bisa jadikan uang sebagai tuhan. Meski kasat mata. Samar-samar.

Setahun ini pula, diam-diam, aku jadi budak uang. Budaknya angka juga. Tapi angka tidak pernah tahu. Aku ngumpet-ngumpet soalnya. Di hadapan khalayak, aku merasa mandiri. Padahal? Aku menjerit juga kalau tidak ada angka di dompet.

Ya, hubungan kita ini, boleh dibilang..cinta bilang benci.

Perjalanan itu dimulai. Kemana tujuanku? Entahlah. Setahuku, ada sebuah idiom berkata, kalau kita berjalan lurus terus, maka kita akan kembali pada titik yang sama. Artinya, ya jalan saja lurus. Ikuti jalan besar. Pasti banyak hal menarik.

Aku jalan saja terus. Sedikit demi sedikit mulai menjauh. Kota kelahiranku tak nampak lagi. Dan aku menginjak kota baru sekarang. Rasanya senang kalau mencapai kota. Ramai di sana. Aku bisa cuci mata. Cuci hidung. Cuci mulut. Cuci baju juga.

Tapi, paling tidak menyenangkan, saat melintas antar kota. Hanya nampak alang-alang. Sepi. Sunyi. Hanya jangkrik saja penghuninya. Aku bisa dengar suaranya. Tapi kok seram ya...

Aku sampai lagi di sebuah kota. Aku tak begitu kenal. Ramai saja yang aku ingat. Paling heboh di taman kota. Banyak orang berkumpul, meski tidak ada agenda spesial. Tiap malam ramai. Tua-muda juga anak-anak, bercengkerama. Di balik keceriaan, ada juga kemesraan. Pokoknya lengkap.

Tapi aku heran, mengapa kota-kota sekarang sering sekali berpesta? Apa mereka sudah tidak punya masalah? Perasaan, rumah mereka masih reot. Di jalan-jalan masih ada pengemis. Di sudut gang, masih ada piring-piring rumah tangga yang berterbangan. Masih ada bocah ingusan yang bermain di sungai saat jam sekolah.

Tapi...ya sudahlah. Biar itu jadi hiburan mereka. Kan, nasib mereka juga sama denganku toh. Kita sama-sama sedang Menghibur diri. Dari himpitan masalah dan cekikan kehidupan.

Aku lanjutkan perjalanan. Seperti biasa, antar kota memang selalu sepi. Tapi kali ini, jalan jadi lebih panjang. Semakin gelap tak terlihat. Aku seperti masuk gua. Semakin ke dalam, semakin enggan cahaya masuk. Tapi aku menikmati saja perjalanan ini. Anggap saja untuk mengimbangi keramaian kota.

Keajegan akhirnya melahirkan kebosanan. Lama sekali jalan gelap ini ditempuh. Warna yang terlihat, hanya hitam. Pekat sekali. Jalanku makin lirih. Kakiku meraba untuk itu.

Aku pun berhenti. Sepertinya ini bukan jalan yang benar. Aku hendak berbalik. Kepalaku menoleh ke belakang. Dan pemandangan terlihat sama. "Ini black hole!" ujarku dalam hati.

Tapi aku malah terdiam setelah itu. Buntu.

Aku ingin pulang, tapi lupa jalannya.   

Unjuk Rasa

Aku bawa spanduk. Lalu pergi ke sebuah gedung. Setelah sampai, aku kaget. Kok tinggi sekali gedung itu. Wih, puncaknya saja tidak kelihatan. Aku bertanya-tanya, siapa yang punya? Pasti kaya banget ini orang. Tidak murah. Rumahku saja, tipe 21, sudah 100 juta. Apalagi ini. Gedung bertingkat. Yang lantai tertingginya tertutup awan.

Aku bawa TOA. Pengeras suara yang terkenal itu lho. Niatnya mau teriak-teriak. Tapi pas sampai di TKP, lidahku kelu. Aku panas dalam. Gigi cekot-cekot. Lidah sariawan. Aku gagap. Jauh dari bayanganku. Gagap gempita. Murah meriah. Semangat membara.

Aku bawa odol. Bodohnya, ditaruh di mata. Ssstt, itu bukan bodoh. Tapi cerdik. Sekedar jaga-jaga. Aku pikir akan ada sekompi tentara. Bawa-bawa senjata kosongan. Itu kata mereka. Padahal di truk, ada selusin magazin. Tapi aku tidak takut. Gitu doang gampang. Aku berani menantang. Aku cuma takut satu: Gas Air Mata. Yah...sama saja, itu takut namanya.

Kejadian memanas. Aku adu fisik. Saling dorong. Sama pagar. Yah, itulah kecewanya aku. Ternyata tentara tidak ada yang datang. Pengecut kali. Padahal bayanganku mengatakan, kejadian tahun 65 dan 98 akan berulang. Tapi nihil.

Makannya, aku dobrak pagar saja. Daripada tidak ada kerjaan? Siapa tahu masuk TV. Kan, TV senangnya dengan yang ribut-ribut. Kata mereka, bad news is good news. Jadi semakin chaos, semakin asyik. Aku mah bertindak sesuai order saja.

Tapi nyatanya, tak ada satu kamera pun merekam. Lagi-lagi nihil.

Apa?! Nihil lagi. Aku gagal jadi bintang. Semua orang kenapa acuh? Tampilanku sudah cukup menarik. Singkatnya, revolusioner. Aku bisa bernyanyi lantang. Spandukku warna-warni. Mukaku sudah dicoret-coret. Lariku cepat. Dan yang paling keren. Odol di dekat bulu mataku. Cool!

Aku duduk di depan pagar. Pagar yang melindungi gedung tinggi itu. Aku lelah. Capek teriak-teriak. Pundakku pegal mendobrak. Tapi, kau tidak mau sekedar menemuiku. Tolonglah, ini suara nurani. Dari tempat terbaik, dan dari manusia yang paling menderita. Ada baiknya didengar. Meski kupingmu buntu.

Ehm-ehm. Dalam demo ini, aku cuma mau bilang sesuatu sama kamu. Ya, kamu yang ada di gedung itu. Aku cuma pengen bilang...hmmm, sebentar, aku malu. Wajahku merah. Sebentar ya, aku butuh waktu. Nafasku masih sengal. Aku...A..A..Aku, cuma mau bilang sesuatu... Tolong didengar ya.



AKU CINTA KAMU!

Dulu

Aku ingat. Masa kanak-kanak begitu indah. Aku sulit lupa. Ketika mengingatnya, senyumku gampang sekali keluar. Aku bahagia. Sebahagia putri raja yang dipinang pangeran tampan.

Saat masih kanak-kanak, aku punya seorang kawan baik. Andi namanya. Rumahnya di depan rumahku. Ayah-Ibunya adalah Ayah-Ibuku juga. Tapi kita tak lahir serahim lho.

Kemarin aku searching namanya. Wah, terkejut aku. Andi jadi anak band. Cita-citanya kesampaian. Aku senang melihatnya. Dulu, ia sempat bilang. "Gua pengen berkarir jadi musisi,". Aku cuma bisa mengaminkan.

Dulu, kita memang pernah ngeband bareng. Keluar-masuk studio bareng. Ketawa bareng. Nyemok bareng. Begadang bareng. Tapi, itu dulu. Sekarang kita susah ketemu. Aku di kota antah berantah, dia masih di rumahnya.

Kadang aku tidak sepakat. Hidup musisi terlalu keras. Aku tak kuat. Tapi dia kelihatan fine-fine saja. Nyaris ia terjerumus kehidupan sesat. Kehidupan bebas katanya. Yang seringkali melenakan. Dan diam-diam menikam dari belakang.

Jauh sebelum itu, kita menjalani masa kanak-kanak dengan normal. Kita pernah main engklek. Main petak umpet. Main polisi-polisian. Main bete tujuh. Main bisik-bisik kata. Bahkan main karet sama cewek-cewek.

Kejadian itu, jauh sebelum playstation menjamur. Memang tepat di masa Sega dan Nintendo beranjak populer. Tapi, mereka belum merebut hati kami. Kami lebih suka kumpul di tengah jalan. Malam-malam keliling komplek. Iseng ngerjain orang. Juga romansa yang absurd.

Saat itu, hari Sabtu dan Minggu benar-benar menjadi hari kemerdekaan bagi anak di komplek kami.

Aku ingin lagi ke sana. Ke masa-masa indah itu. Tapi bagaimana? Aku sudah 23 tahun. Sudah tak pantas. Walaupun sekedar mengenangnya. Umur itu terlalu produktif. Terlalu sayang dibuang. Ini bumi yang menuntut uang berlebih. Aku harus beranjak. Meraih hal selanjutnya.

Tapi tidak ada salahnya. Aku ingin ingat Andi. Juga kawan yang lain. Dua udo Angga yang Padang. Bagus yang setengah Belanda. Ray yang Batak. Endi yang Jawa banget. Rendy yang Betawi banget. Tomas yang paling jangkung. Bapaknya anak-anak. Mereka terlalu berharga.

Eh, Andi itu sama kecilnya dengan badanku lho. Kalau lagi berkelahi, seimbang. Kadang dia menang. Besoknya, gantian. Meski kadang luka-luka, paling tiga hari normal lagi. Yang paling aku ingat, kelingkingnya. Saat bersatu dengan kelingkingku. Lucu sekali ya. Perjanjian damai anak kecil, tak serumit Linggarjati. Cukup kelingking yang saling berlipat.

Dulu, saat hits pertandingan gulat WCW, kita tiru-tiru. Hasilnya? Sek, sek, sebentar, sebentar, aku menghitung dulu. Berapa kali ya, tangan kami keseleo? Kalau sudah gitu, kami bukannya dikasihani, tapi dimarahi habis-habisan. Ya, sama siapa lagi kalau bukan ibu kami. Memang menyusahkan ya kami ini!

Eh, ngomong-ngomong soal keseleo. Andi, waktu SD, pernah patah tulang. Tepatnya di tangan. Waktu itu kami main basket. Sudah tahu badannya kecil, Andi tetap memaksa bermain. Hasilnya apa? dia ditindih Angga yang lumayan gemuk. Tangannya patah. Dia nangis-nangis. Semua anak yang main basket, ketakutan setangah mati. Sejak itu, kami kapok bermain basket. Tapi, cerita bahagianya. Dengan kepatahan itu, Andi dapat hadiah. Sudah hal biasa, Ibu menghibur anaknya yang kesusahan. Hadiahnya spesial: Gitar.

Mungkin, kejadian ini yang paling banyak merubah hidup kami. Pertama, kami jadi lebih konsisten main bola sepak. Sebab, basket sudah "diharamkan". Kedua, satu persatu dari kami, beli gitar (karena iri), dan bisa bermain gitar. Aku termasuk awal. Sejak kelas satu SMP sudah pandai bergitar. Meski cuma hafal kunci mayor-minor saja.

Untuk masalah keseleo, bukannya berkurang, malah tambah banyak. Sepak bola ternyata lebih keras. Anak-anak kesetanan. Kerasukan jin Maradona. Bermain bola kayak orang gila. Gocek kanan-gocek kiri, bolanya ketinggalan. Bodi kanan-bodi kiri, orangnya mental semua. Dan aku pun pernah pingsan. Ditubruk buldoser.

Biasanya begini. Jadwal bermain kita sebenarnya berlangsung tiap malam. Cuma Malam Sabtu yang paling favorit. Penonton membludak. Maklum besoknya libur. Kita khusyuk di rumah. Ada banyak film kartun. Sore-sore saja keluar kandangnya.

Itu masa kecilku. Kini, aku tak bisa lagi menikmati. Aku sudah tua!

Sabtu, 15 Oktober 2011

Jangan

Jangan pernah bicara "Ya" kalau memang belum siap menerima kata "tidak".
Jangan pernah bicara "Yakin" kalau memang belum pernah merasakan "kegagalan".
Jangan pernah bilang jangan...

Karena itu akan membuatmu gila...

Rabu, 12 Oktober 2011

Boys, Come On

Anak laki-laki -katanya- diciptakan berani. Sebab -katanya juga- laki-laki bertugas melindungi wanita. Apakah itu benar?

Ternyata tidak juga. Saya sebagai laki-laki yang sejak lahir belum pernah operasi kelamin, mengaku bahwa keberanian juga ada dalam hati wanita. Contohnya, apabila ada laki-laki sedang berkelahi dengan lelaki lain, biasanya ada seorang wanita datang untuk membela lelaki yang dicintainya.


Wanita itu ternyata ibu dari anak lelaki yang sedang berkelahi dengan teman sebayanya di depan sebuah taman kanak-kanak.

Awalnya

Dontelmi a.k.a Dont Tell Me,

Sebuah nama yang diberikan blogger, setelah aku mengemis-ngemis karena tak kunjung dapat izin membuat blog. Nama ini tidak berarti dan tidak disalahartikan.


Salam Dontelmi.
Satapyormot!