Selasa, 20 Maret 2012

Dinding

Putih belum tentu bersih. Lain mulut, lain di hati. Tempat itu memang menjanjikan kedamaian. Tapi, sekali lagi, damai belum tentu tenang. Apalagi kalau bicara janji, kita mesti sedikit sinis. Wong, janji saat ini seperti hembusan angin. Cepat sekali perginya.

Kita lihat di depan kita. Ya, itu tembok. Bangunan keras yang mesti kita pukul. Bahkan sampai darah bukan lagi berwarna merah. Kita lihat itu usaha terbaik kita? Belum tentu. Sampai kematian sudah mendekati, itulah saat-saat tembok akan rubuh.

Mati. Mengapa aku bicara mati terus dari tadi? Karena aku rindu. Aku penasaran. Bukan karena bagaimana rasanya mati, tapi lebih karena bagaimana nikmatnya hidup itu. Kalau aku sudah mati kan, tembok-tembok itu sudah tidak ada lagi. Masalah kita usai. 

Di dalam dinding yang bisu, kita hanya mencerca keadaan. 
Dalam muak, kita menahan muntah
Darah yang mengalir adalah sungai kebebasan
Dari balik dinding, kita tantang orang-orang bisu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar